DEHONIAN

SACRED, INTELLIGENCE AND APOSTOLATE

BELAJAR DARI ABRAHAM

PERCAYA PADA KEHENDAK ALLAH


A.    PENGANTAR
Pertamakali Abraham menerima panggilan Allah beserta janji Nya, Abraham langsung pergi sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Dapat dikatakan bahwa dia adalah orang yang taat begitu saja pada Allah. Panggilan Allah dan janji Nya itu belum jelas bagi Abraham, sedangkan dalam perikop ini Abraham tidak ada keterangan apakah Abraham sempat bertanya kepada Allah mengenai perintah dan janji itu. Namun apakah dengan demikian dia adalah orang yang bodoh? Tentu saja ketaatannya itu bukanlah sebuah ketaatan yang tak beralasan. Ia taat kepada Allah karena Ia percaya kepada Nya, bahwa Allah akan menjadi petunjuk dan penuntunnya. Kepercayaannya merupakan kepercayaan total kepada Dia yang memanggilnya.
B.     TEKS
12:1 Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;
12:2 Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.
12:3 Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
12:4 Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya, dan Lot pun ikut bersama-sama dengan dia.

C.    STRUKTUR TEKS
Perikop panggilan Allah kepada Abraham merupakan tradisi Yahwist, dimulai dari bab 12:1-9 kecuali 4b-5. Perikop ini merupakan satu kesatuan, hal ini tidak pernah dipersoalkan.[1] Namun penulis hanya membatasi pada ayat 1-4a karena alasan liturgis pastoral pada hari Minggu Prapaska II, berkaitan dengan penyerahan diri secara total kepada Allah dan karya keselamatan Nya. Kepercayaan Abraham itu adalah pangkal iman kita.[2] Adapun susunan perikop ini adalah sebagai berikut:
Ayat 1 : Perintah Tuhan kepada Abraham
Ayat 2-3: Janji Allah kepada Abraham
Ayat 4a : Perjalanan Abraham dimulai

D.    TAFSIRAN

1.      Latar Belakang Sejarah
Situasi di Timur Tengah pada periode 2000-1500 tidak begitu stabil. Bangsa-bangsa baru yang berasal dari Rusia Selatan dan dari wilayah yang kita kenal sekarang dengan Arab Saudi, antara lain bangsa Amori mencoba menetap di wilayah itu, khususnya di daerah Mesopotamia yang amat subur itu.[3] Kedatangan bangsa Amori itu menggeser sejumlah suku seminomad di Mesopotamia menuju wilayah baru, yaitu Kanaan. Perpindahan tersebut terjadi secara bertahap. Ada yang berpindah secara massal (beberapa suku sekaligus), namun ada juga yang berpindah hanya satu marga, atau satu keluarga. Pada umumnya orang-orang seminomad tinggal di tenda-tenda. Satuan sosial adalah keluarga besar, terdiri dari orangtua, anak-anak lelaki bersama keluarga mereka, sejumlah pembantu dan juga budak. Dalam hal ini, kepala keluarga mempunyai wibawa dan kekuasaan yang besar terhadap segenap anggota keluarga. Kepala keluarga bertanggungjawab penuh atas anggota keluarga serta menjadi wakil dalam hubungan dengan pihak luar. Oleh sebab itu kesejahteraan keluarga sangat terikat pada kepala keluarganya.[4]
Abraham adalah anak Terah, keturunan ke sepuluh dari Nuh (Kej. 11:24). Keluarga Terah tinggal di Ur-Kasdim/Kaldea, Babilonia, tempat Israel mengalami pembuangan, penjajahan dan penindasan. Babilonia adalah tempat orang kafir berkuasa, dimana Allah tidak dirasakan, dan di sinilah Abraham lahir. Abraham berusia 75 tahun ketika ia dipanggil oleh Allah untuk meninggalkan Haran.  Nama Abraham adalah nama sebutan dari nama aslinya yaitu Abram (Abiram) yang diganti oleh Allah karena perjanjian Allah dengannya. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kej. 17:5). Nama Abraham berarti Bapa (bapaku) adalah agung (mulia).[5] Mengenai kehidupan Abraham secara spesifik, sebelum ia dipanggil, tidak diketahui secara pasti. Juga tidak diketahui, seperti apa kualitas hidup Abraham, apakah dia seorang yang saleh, sehingga Allah berkenan padanya dan memanggilnya.

2.      Perintah Tuhan
Cerita tentang Abraham dimulai pada bab 11:27-32 (J dan P).[6] Selama kurang lebih sepuluh keturunan setelah Nuh, Kitab kejadian tidak mengisahkan tentang Tuhan yang berfirman kepada siapapun.[7] Namun, Kitab Kejadian dilanjutkan dengan firman Tuhan kepada Abraham bahwa Ia memberikan suatu perintah kepada Abraham untuk pergi dari negerinya, ke negeri yang akan ditunjukkan Allah. Peristiwa ini tidak disampaikan secara spesifik mengenai waktu dan tempatnya. Peristiwa ini seperti terjadi secara langsung. Satu hal yang penting adalah bahwa ada suatu perintah yang disampaikan Allah kepada Abraham. Kata pertama dalam Kej. 12:1 adalah ”Berfirmanlah Allah…” hal ini mau menunjukkan bahwa bukanlah usaha dan kebijaksanaan Abraham sendiri, melainkan rencana, inisiatif  dan tindakan Allah yang disampaikan kepada manusia. Seperti dalam kej. 1: 3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26, 28, 29, dst, dimana Firman Allah menciptakan langit dan bumi atas rencana dan inisiatif Nya sendiri.[8]
Abraham diminta untuk meninggalkan negerinya, sanak saudaranya dan rumah bapanya. Sebutan ‘negeri’ menunjuk pada suatu daerah dengan batas-batas tertentu dan mengandaikan bahwa pendengarnya adalah orang-orang yang menetap.[9] Alasan-alasan sosio-ekonomis yang mendorong suku-suku dan keluarga-keluarga lain, tentu saja mendorong Abraham untuk pergi dari sana. Namun dalam Kitab Suci disebutkan alasan lain yang menurut pengarang Kitab Suci lebih penting dari segala alasan ‘profan’, yakni dorongan dari Allah sendiri.[10]

3.      Janji Allah
Dalam Kejadian bab 1-11, kisah-kisah di dalamnya penuh dengan keseluruhan, kemanusiaan  dan keuniversalan. Namun dalam Kej. 12 dimulai suatu keistimewaan, kekhususan dan perseorangan. Panggilan Allah dan janjiNya, hanya ditujukan kepada satu orang saja yakni Abraham. Panggilan itu tidak ditujukan kepada ayahnya, atau suku bangsanya, melainkan hanya Abraham. Janji yang diberikan Allah kepada Abraham terdiri dari 3 bagian,
a.                            Janji mengenai negeri
Pada ayat 1, Allah berfirman; “…dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” Allah tidak menunjukkan secara pasti negeri yang dijanjikan kepadanya itu. Namun Allah berjanji bahwa Ia akan memberikan petunjuk mengenai negeri  yang dijanjikan Nya. Tujuan akhir dari perjalanan Abraham itu tersembunyi dalam perjanjian Allah; Abraham tidak diberitahu arah jalan dan tujuannya. Abraham diikat oleh perjanjian dengan Allah yang tak kelihatan (bdk. Ibr. 11:1,8-12).[11]
b.                           Janji mengenai keturunan
Janji mengenai keturunan yang akan diberikan kepada Abraham, pertamakali pada ayat 2, “Aku akan menjadikan engkau bangsa yang besar”. Secara tidak langsung merupakan janji yang diberikan kepada Abraham, bahwa ia akan mendapatkan keturunan. Kata ‘bangsa’ dalam bahasa aslinya goy selalu mempunyai konsep politis.[12] Keturunan Abraham akan menjadi suatu kekuatan politis yang besar.[13] Namun pada bab 15, dikisahkan bahwa seolah-olah Abraham mempertanyakan kepastian janji Allah tersebut, karena kemandulan Sarai. Pada bab sebelumnya, 11:30, pengarang sudah menceritakan bahwa sarai itu mandul dan tidak mempunyai anak. Janji keturunan ini juga masih diulang lagi pada bab 17:2, dan 18:10. Hingga pada akhirnya, janji mengenai keturunan ini terpenuhi pada Kej. 21:2.

c.                            Janji mengenai berkat
Kata ‘berkat’, memberkati (Ibrani: bārak, bekāh) mengacu pada daya kesuburan.[14] Namun tidak hanya itu, berkat yang diberikan Allah kepada Abraham mengandung arti yang luas, menyangkut semua aspek kemurahan Tuhan yang akan mempertinggi kehormatan dirinya sendiri serta keluarganya.[15] Berkat yang diberikan Tuhan kepada Abraham, bukanlah berkat yang langsung ia terima begitu saja, namun rahmat itu diberikan Allah melalui sebuah proses bertahap dalam kehidupannya. Dalam klausa terakhir ayat 2; “…dan engkau akan menjadi berkat.” Diterangkan dalam ayat 3, yakni berkat Allah kepada Abraham, orang-orang di sekitarnya, serta seluruh bumi akan mendapat berkat oleh karenanya.Selanjutnya, orang-orang akan ‘menggunakan’ dirinya sebagai standar sebuah rahmat (bdk. 48:20).

E.     KASIH KARUNIA ALLAH DALAM IMAN ABRAHAM

Kepercayaan Abraham nampak sejak ayat 1 dalam kisahnya. Firman TUHAN kepada Abram: "PERGILAH dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu…”. Atas sabda Yahwe, Abraham (Abram) berangkat menuju hidup yang baru yang akan diarahkan oleh Yahwe setapak demi setapak. Abraham meninggalkan semua kepastian yang mengikatnya (tanah, sanak saudara, rumah orangtuanya) dan mengikuti Tuhan tanpa mendapat kepastian lain daripada petunjuk yang nanti akan diberikan kepadanya.
Panggilan Allah kepada Abraham, secara personal merupakan tahap awal sejarah terbentuknya sebuah suku, yang kemudian menjadi suatu bangsa yang besar, yakni Israel. Dengan dipangilnya Abraham, era baru keselamatan hadir dan diwartakan. Tahap pertama penyelamatan umat manusia dimulai.[16] Kemudian dalam perjanjian baru, Abraham diakui sebagai Bapa semua orang beriman (Rm. 4:11, 13) karena kepercayaannya yang mutlak kepada Allah. Kitab suci memang tidak menceritakan seperti apa iman Abraham, sikap hidup dan perbuatannya sebelum dia dipanggil oleh Allah. Nampaknya pengarang lebih menekankan bahwa Allah tidak memandang Abraham pertama-tama dari perbuatannya, melainkan karena rencana dan maksud dan kasih karuniaNya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam 2 Tim 1: 9-10, “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri...”
Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita mendengar pengakuan mengenai keselamatan seseorang yang diukur dari banyaknya amal perbuatan di dunia ini. Bagi orang katolik, keselamatan manusia itu tidak diukur dari perbuatannya di dunia. Namun pertama-tama adalah anugerah kerahiman Allah. Perbuatan baik manusia itu bukanlah satu-satunya jaminan keselamatan, melainkan sebagai tindakan dan ungkapan syukur atas kasih Allah kepada manusia.
Dalam mempertahankan imannya kepada Allah, kerap kali Abraham mengalami keraguan. Ia sungguh bergumul dengan janji yang diberikan kepadanya. Kita dapat melihat bahwa ini sungguh tidak mudah bagi Abraham. Seringkali kita menyebut Abraham sebagai bapa orang beriman.[17] Hal itu dapat kita lihat dari penyerahan dirinya mutlak kepada Allah tanpa banyak bertanya. Ketika Allah berfirman kepadanya, memintanya pergi  dari negerinya dan memberikan janji, dia langsung percaya dan pergi. Namun jika kita mencermati kelanjutan kisah Abraham, ia tidak begitu saja menyerahkan diri (arti kata iman) ke dalam penyelenggaraan Tuhan, berulangkali ia menjadi gambaran orang yang tidak beriman karena mencari jalannya sendiri. Dengan kata lain, Abraham tidak menjadi teladan, bukan karena kehebatannya yang tak tergoyahkan dalam beriman, tetapi justru karena kerapuhannya dan jatuhbangunnya dalam beriman.[18]
Berkaitan dengan panggilan Abraham ini, rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma memberikan gambaran mengapa iman Abraham dibenarkan oleh Allah:
1.   Abraham dibenarkan bukan karena usahanya (Rom. 4:1-8)
“Jadi apa yang kita katakan tentang Abraham, bapa jasmani kita?” ( Rom 4:1). Abraham bukan saja bapa leluhur dalam iman, namun Abraham adalah bapa leluhur dari seluruh orang Yahudi secara jasmani.[19] Berkaitan dengan iman Abraham itu sendiri, dia berhadapan dengan permasalahan atas janji Allah. Ia sendiri ragu atas janji yang diberikan kepadanya (Kej 15), namun Allah memberi peneguhan atas janji Nya kepada Abraham (kej. 15 dan 17). Sama seperti kita, Abraham juga bergumul dengan imannya akan Allah dan janji Nya itu. Kej 12 ini adalah tahap pertama pergumulan iman dalam panggilannya. Abraham menerima perintah dan janji itu ketika dia berusia 75 tahun. Sedangkan janji itu baru tergenapi ketika ia berusia 100 tahun lebih. Ini merupakan sebuah proses yang panjang, dan memang Abraham layak menerima ‘titel’ Bapa semua orang beriman. Jikalau kita menelusuri lebih jauh, maka kita dapat melihat bahwa seringkali apa yang dilakukan Abraham justru menun­juk­kan bah­wa ia tidak beriman. Misalnya ketika ia berdusta dua kali tentang status isterinya, Sara. Maka kelayakannya disebut sebagai Bapa semua orang beriman bukan terletak pada usaha-usaha dan perbuatan baiknya, melainkan karena kasih karunia Allah kepada Abraham.
Dalam hal ini pula Paulus memberi sebuah gambaran seperti seorang pekerja yang mendapatkan upah. Upah yang diterima itu merupakan hak si pekerja, dan tidak diperhitungkan sebagai hadiah. Namun bila pemberian uang itu atas kebaikan seseorang, bukan karena ia melakukan sesuatu pekerjaan maka hal itu diperhitungkan sebagai sebuah hadiah. Demikian pula kasih karunia Allah bagi Abraham, ia dipanggil dan dianugerahi janji Nya. Dengan demikian Allah memperhitungkan Abraham. Apa yang diperhitungkan? Pertama, Allah memperhitungkan iman sebagai kebenaran, kedua, keenaran itu bukan karena pekerjaan manusia, ketiga, Allah memperhitungkan dosa kita, tetapi ia mengampuni dosa kita.[20] Bukan karena ia telah melakukan sesuatu bagi Allah sebelum ia dipanggil, melainkan semata-mata karena kasih karunia Nya. Tiga usur ini menyatu dalam pengertian pembenaran.[21]
2.   Abraham dibenarkan bukan karena sunat (Rom. 4:9-12)
Paulus mempertanyakan, apakah Abraham dibenarkan karena perbuatan baik atau karena iman? Selanjutnya kita dapat memperjelas dengan sebuah pertanyaan apakah Abraham dibenarkan sebelum atau sesudah sunat sebagai bukti ketaatan dan imannya pada Allah? Dalam Kej. 15 dikisahkan bahwa ia dibenarkan, sedangkan kisah Abraham disunat baru pada bab 17. Pembenaran iman Abraham dan sunat, nampaknya mempunyai kaitan. Sunat yang dilakukan Abraham merupakan peneguhan akan pembenaran itu. Jadi Abraham menjadi bapa leluhur orang beriman bukan karena pertama-tama dia disunat, melainkan karena imannya. Bagi orang Yahudi, Abraham adalah teladan orang beriman karena sunat. Namun bagi orang Kristen, Abraham adalah bapa leluhur karena iman, bukan karena sunat.[22]
3.   Abraham dibenarkan bukan karena hukum (Rom. 4:13-17)
Ada dua alasan mengapa pembenaran itu bukan karena hukum, melainkan karena iman.[23] Pertama, secara historis perjanjian Allah dengan Abraham diadakan sebelum adanya hukum (bdk. Gal 3:17). Maka sangat tidak mungkin bahwa hukum menjadi jaminan janji Allah itu. Kedua, apabila seorang ahli waris bergantung pada hukum, maka itu bukan lagi karena janji (bdk. Gal. 3:2). Sebab hukum menuntut sebuah keharusan, dan janji menuntut sebuah kepercayaan. Maka berhadapan dengan panggilan Allah dan janji Nya ini, yang diperlukan bagi Abraham adalah kepercayaan dan iman: “aku mau”.

F.     PENUTUP

Dari banyak hal yang sudah kita gali di atas, menjadi jelaslah bagi kita bahwa dasar dari iman kita adalah karya keselamatan Allah dan kasih karunia Nya. Dalam hal ini yang menjadi model hidup beriman kita adalah Abraham. Abraham menyerahkan dirinya secara mutlak pada penyelenggaraan Ilahi. Penyerahan dirinya yang secara total itu dapat kita lihat dari sikapnya yang tanpa banyak bertanya, namun menyerahkan diri sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi; “Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya,...”(Kej. 12:4a). Namun dalam perjalanan selanjutnya, ia justru banyak bergulat dengan janji dan imannya akan Allah itu sendiri. Abraham memang taat kepada kehendak Allah. Namun yang melandasi ketaatannya itu adalah kepercayaannya kepada Allah, bahwa Allah sendirilah yang akan menjadi penuntun dan penunujuk jalannya (bdk. Kej. 12:2). Dalam hidup, kita juga berhadapan dengan persoalan-persoalan iman. Kadangkala ketika kita berada dalam situasi yang menghimpit, kita bertanya, mengapa ini semua dibebankan kepada saya? Satu hal yang diperlukan bagi kita sebagaimana Abraham adalah kita mau berjuang untuk tetap setia serta menyerahkan semuanya pada penyelenggaraan Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, E. Raymond, dkk,
1990 The New Jerome Biblical Commentary, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
J. Stoot, Romans,
1994    God’s Good News for the World, Inter-Varsity Press, Illionis.
Lampp, Walter,
1968    Tafsiran Kedjadian 2 Badan Penerbit Kristen, Jakarta
Maher, Michael,
1982    The Anchor Bible Genesis, Michael Glazier, Inc,.
Martin, George,
Kitab Kejadian dan Kitab Keluaran, Dioma, Malang
Phariera, Berthold. A,
2004    Abraham Imigran Tuhan dan Bapa-bapa Bangsa, Dioma, Malang.
Soenarja, A. SJ.,
1987       Inspirasi Hidup, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
St. Darmawijaya, Pr,
2004    Menangkap Kehendak Allah dalam Masyarakat Beresiko, dalam H Budi, SJ, Di Jalan Terjal, Kanisius, Yogyakarta.
V.  Indra Sanjaya, Pr.,
2003 Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab, Kanisius, Yogyakarta.
Van Der Weiden, Wim,
Pengantar Perjanjian Lama, Diktat Kuliah Pengantar Perjanjian Lama.
Westermann, Claus,
1986    Genesis William B. Eerdemans Publishing Company, Gran Rapids, Michigan.

Oleh: Fr. HENDRIK ARDIANTO
             


[1] Berthold A. Phariera, Abraham Imigran Tuhan dan Bapa-bapa Bangsa, Dioma, Malang, 2004. Hal. 27.
[2] A. Soenarja, SJ., Inspirasi Hidup, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987. Hal. 187
[3] Wim Van Der Weiden, Pengantar Perjanjian Lama. Hal 9
[4]Wim Van Der Weiden, Pengantar Perjanjian Lama. Hal. 10.
[5]Walter Lampp, Tafsiran Kedjadian 2 Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1968, Hal. 187.
[6]Claus Westermann, Genesis William B. Eerdemans Publishing Company, Gran Rapids, Michigan, 1986. Hal. 98.
[7]George Martin, Kitab Kejadian dan Kitab Keluaran, Dioma, Malang, Hal. 23.
[8]Walter Lampp, Tafsiran Kedjadian 2 Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1968, Hal. 193.
[9]Berthold A. Phariera, Abraham Imigran Tuhan dan Bapa-bapa Bangsa, Dioma, Malang, 2004. Hal. 28.
[10] Wim Weiden Van Der, Pengantar Perjanjian Lama. Hal. 10.
[11] Walter Lampp, Tafsiran Kedjadian 2 Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1968, Hal.
[12]Michael Maher, The Anchor Bible Genesis, Michael Glazier, Inc, 1982. Hal. 86
[13]Berthold. A Phariera, Abraham Imigran Tuhan dan Bapa-bapa Bangsa, Dioma, Malang, 2004. Hal. 30.
[14]Claus Westermann, Genesis William B. Eerdemans Publishing Company, Gran Rapids, Michigan, 1986. Hal. 98.
[15]Raymond E.Brown, dkk, The New Jerome Biblical Commentary, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1990. Hal. 20
[16]Michael Maher, The Anchor Bible Genesis, Michael Glazier, Inc, 1982. Hal. 91
[17] Vincentius Indra Sanjaya, Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab, Kanisius, Yogyakarta, 2003. Hal. 127
[18] Ibid. Hal. 127
[19] J. Stoot, Romans, God’s Good News for the World, Inter-Varsity Press, Illionis, 1994. Hal. 124
[20] Rom 4:6 “Seperti juga Daud menyebut berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya.”
[21] St. Darmawijaya, Pr, Menangkap Kehendak Allah dalam Masyarakat Beresiko, dalam H Budi, SJ, Di Jalan Terjal, Kanisius, Yogyakarta, 2004. Hal. 106
[22] J. Stoot, Romans, God’s Good News for the World, Inter Varsity Press, Illionis, 1994. Hal. 130.
[23] Ibid. Hal 131

Share on Google Plus

About Heinscj

1 Comment:

  1. Terima kasih Pak Fr. HENDRIK ARDIANTO atas tulisanya kiranya bapak juga diberkati dan kami yg membaca tulisan ini diberkati ........salam Soli Deo Gloria.

    ReplyDelete