“Kubuka album biru…kata mereka
diriku, slalu dimanja, kata mereka diriku slalu ditimang…oo Bunda ada dan tiada
kau slalu ada di dalam hatiku…”
Senandung
lagu bunda membawa suasana semakin haru diantara riuh reda anak-anak Panti
Asuhan Bhakti luhur yang berkumpul di Aula Bhakti Luhur School. Lagu itu
dibawakan oleh seorang anak PABL dengan kepolosan dan keterbatasannya. Namun
lagu itu terdengar lebih merdu dinyanyikan oleh anak itu daripada dinyayikan
oleh penyanyi aslinya. Dalam alunan lirik lagu itu, aku menangkap sejumput
makna yang mengungkapkan perasaan jiwa dalam sebuah alunan lagu.
Album
kehidupan mereka dimulai ketika mereka membuka mata, terlahir ke dunia. Kala
itu, dunia sunyi senyap, mengatupkan tangan sembari bersyukur karena kehidupan
baru dilahirkan. Alam sekitar mulai menyapa lembut, manusia-manusia baru mulai
dikenali, dan segala binatang pun tak henti-hentinya bersuka cita. Kala itu.
Waktu
demi waktu, saat demi saat, bergulir tiada henti. Mereka pun menyadari bahwa
kehidupan itu indah. Mereka juga patut bersyukur karena dilahirkan ke dunia,
disambut oleh mentari dan alam raya. Sungguh indah!
Namun
satu hal, masih remang-remang. Mereka pun mulai menyadari bahwa ada perbedaan
yang tampak seperti sebuah jurang. Mereka menyadari bahwa mereka berbeda dengan
orang lain yang ada di sekitarnya. Rasanya seperti ada yang kurang lengkap.
Tangan, kaki, jari, mata, hidung, dan kepala. Mengapa demikian?
Banyak
orang mengatakan, yang menciptakan manusa itu Tuhan. Tuhan pula yang
menciptakan alam semesta. Orang pula yang mengatakan bahwa Tuhan itu baik, Dia
itu selalu mendengarkan jerit tangis umatNya. Namun mengapa Tuhan tidak
melakukan hal yang sama kepada mereka? Apa salah mereka, sehingga mereka mereka
diperlakukan Tuhan seperti itu. Orang di sekitarnya mengatakan bahwa ini
hanyalah sebuah cobaan belaka. Namun apakah cobaan ini akan selamanya
ditanggung. Tak ada yang bisa diubah. Semuanya seperti terpatri kokoh dalam
nasib mereka.
Mereka
terus bertanya, adakah orang yang bisa menjelaskan dengan gambling, mengapa
Tuhan menciptakan mereka demikian? Mengapa mereka harus cacat, mengapa mereka
harus berbeda dari orang lain? Tuhan? Sungguh, apa yang sebenarnya dikehendaki
Tuhan? Apakah Tuhan tidak bisa berbuat lebih untuk mereka? Seribu pertanyaan
mereka tak kunjung henti memenuhi laju aliran darah mereka. Satu kata Tanya
yang tak akan pernah hilang adalah; mengapa?
Pertama
kali saya datang ke sini, saya merasa agak canggung. Bahkan sebelumnya pun
sama. Beberapa kali diadakan pertemuan untuk membahas apa dan bagaimana tugas
yang akan aku lakukan di sana, di Panti rehabilitasi anak-nak cacat tersebut.
Pada perjumpaan pertama, saya menjaga jarak dengan mereka yang ‘berbeda’ dari
saya. Mereka tampak kumuh, dengan sikap-sikap yang sangat aneh. Perawat di sana
mengatakan kepada saya bahwa di sini, rata-rata anak-anaknya mengalami cacat
fisik dan mental/tuna ganda, ada juga anak yang autis. Beraneka ragam jenis
kelakuan yang dimiliki anak-anak yang tinggal di Asrama putera st. Vincentius.
Ketika
pertama kali saya datang ke sana, saya diminta untuk menyuapi salah seorang
anak cacat mental. Perasaan saya campur aduk. Di satu sisi saya takut apabila
tiba-tiba mereka menerkam saya dengan sebilah pisau, seperti yang film-film
yang ditayangkan di tv. Saya agak canggung dan terus terang, meskipun saya
sering bersentuhan dengan barang-barang kotor dan bau, tapi kali ini saya
memang benar-benar takut dengan perasaan yang campur aduk. Ah, apa yang saya
rasakan memang terlalu berlebihan. Namun apa yang ada di benakku itulah yang saya
rasakan.
Di
sana saya mengalami suatu perjumpaan yang sangat asing dalam pandangan mata. Di
satu sisi saya merasa kasihan dengan mereka, namun di sisi lain saya merasa
bahwa saya takut dengan mereka, kendati usia mereka ada yang jauh di bawah
saya. Seorang perawat memberi tahu kepada saya bahwa saya tidak perlu segan dan
takut, sebab mereka tidak akan menyakiti saya. Namun yang harus diwaspadai
adalah seorang anak cacat ganda yang kerapkali mengamuk, membenturkan kepalanya
tanpa sebab, dan bahkan dia juga sering ‘nggrawuk’/mencubit dengan kukunya
kepada siapapun yang ada di dekatnya apabila dia sedang marah. Saya sendiri
pernah mengalami ketika pada suatu kali saya mendekatinya untuk sekedar
menyalaminya dan membuatnya mengenal saya. Pada saat itu sepertinya anak itu
sangat senang dengan kehadiran saya disampingnya., Namun pada saat yang
beramaan, anak tersebut malah memukul saya dan membuat mata saya menjadi pedih.
Ah, sungguh tak ada di benak saya pada waktu itu bahwa anak itu akan memukul
saya. Seandainya saya tahu bahwa anak tersebut memang mempunyai gejala yang
demikian, tentunya saya akan lebih berhati-hati.
Yah,
pelajaran kecil buat saya, perubahan begitu cepat. Kadangkala sebagai manusia
yang normal pun, suatu ketika pasti kita akan merasakan senang dan sedih atau sayang
dan benci berubah dengan sangat cepat. Siapa sangka hal itu terjadi, tak ada
yang menghendaki. Hanya bedanya, kita sebagai manusia normal, tanpa sedikit
cacat pun, kita dikendalikan oleh pikiran dan akal budi kita sehingga apa yang
kita lakukan tidak merugikan orang lain tentunya. Sedangkan anak itu dalam
waktu sekejap dapat berubah pikiran dan ia hanya bergantung pada senang atau
tidak senang. Jika ia merasa ada sesuatu yang tidak ia senangi, dia akan merasa
gembira. Namun apabila anak tersebut merasa ada sesuatu yang tidak dia senangi,
dia akan memberontak dan memukul orang lain bahkan dirinya sendiri sebagai
luapan kemarahannya.
Disamping
mendampingi anak-anak cacat fisik dan mental, saya bersama dengan dua teman
saya, juga mendampingi anak-anak hyperaktif. Di komunitas Vincentius, saya
bersama dengan dua teman saya, mendampingi dua anak yang hyperaktif. Mereka
tergolong dari keluarga yang cukup berada. Namun orang tua mereka mempercayakan
perkembangan anak mereka pada panti ini. Seringkali kedua anak hyperaktif ini
berjalan semaunya sendiri. Ada anak yang hobinya mengambil lauk di dapur.
Bahkan salah satu anak hyperaktif ini pernah mengambil lauk dan sayur yang
sedang direbus. Sedangkan anak yang satu lagi, kemanapun dia pergi, dia selalu
membawa gelas kesayangannya untuk dimainkan dengan lentik jarinya yang sudah
mahir menggerakkan gelas itu dengan cepat. Kedua anak tersebut memang tidak
banyak bicara, namun mereka selalau berjalan kemana mereka suka; biasanya
mereka mondar-mandir keliling masuk keluar rumah.
Kedua
anak autis ini mendapat perhatian ekstra dari mereka yang cacat mental, kecuali
seorang anak yang pernah memukul saya. Mereka memang unik dan kebutuhan mereka
berbeda satu dengan yang lain, sehingga mereka pun harus diperhatikan secara
berbeda pula. Para perawat di sini pun memperhatikan mereka dengan kasih yang
mereka punya. Kadangkala mereka pun harus membentak, supaya anak-anak mengerti
dan tanggap terhadap dirinya dan lingkungan dimana dia tinggal. Tanpa perhatian
dari para perawat, entah itu kasih sayang yang berupa sapaan lembut atau
bentakan, itu semua demi perkembangan mereka, supaya mereka semakin menyadari
bahwa anak-anak tersebut tidak tinggal sendirian. Mereka tinggal bersama dengan
orang lain. Sehingga apapun yang anak-anak itu lakukan tentunya membawa
konsekuensi bagi orang lain.
To be continued...
0 Comment:
Post a Comment