“Dengan teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih, bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia,Kristus yang adalah Kepala”.
(Efesus 4:15)
Mari ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mrk 1:17). Nampak jelas bahwa panggilan pertama-tama merupakan inisiatif dari Allah sendiri, Sebuah ajakan untuk mengikutiNya dan bersama-sama dengan Dia. Ajakan itu secara eksplisit saya tanggapi dengan keputusan untuk bergabung dengan kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Bagi saya melamar SCJ merupakan keputusan yang sangat matang dan penuh pertimbangan dengan bimbingan Sang Ilahi dalam retret.
Masa ‘permohonan’ kini hampir paripurna, dan masa novisiat sudah menanti di depan mata. Ada banyak alasan yang bisa diungkapkan mengapa saya bisa bertahan dan setia menjalani satu tahun masa postulan. Allah, adalah jawaban pertama dari seluruh perjuangan saya. Dari inisiatif Allah, panggilan ini mulai saya tekuni semampu saya, sekuat tenaga dan Alhamdullilah saya bisa bertahan pada jalanNya. Oleh sebab itu kongregasi SCJ merupakan suatu wadah sekaligus sarana untuk menimba cinta Allah bagi diri saya dan bagi sesama. Saat ini sesama bukanlah semata-mata orang yang ada di stasi atau kring sekitar, tapi lebih pada komunitas Novisiat
Bersama dengan Allah, pembimbing, dan komunitas, saya me\di-format diri saya sedemikian rupa sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan sebagai calon abdi Hati Kudus. Dalam banyak aspek kehidupan saya mengalami banyak perkembangan. Dukungan dari pihak tersebut membuat saya mampu menjalani panggilan khusus ini. Meskipun masih pada strata yang paling bawah dari tangga Biarawan-Imam SCJ, saya selalu yakin dengan Dia yang memanggil. Saya hanya bisa menyerahkan diri sepenuhnya dan mengiringinya dengan perjuangan penuh kesetiaan. Beberapa perkembangan Aspek kehidupan saya.
Pembimbing mengajak saya untuk ‘introspeksi’ atas pengalaman masa lalu yang menjadi penghalang panggilan saya. Saya dibantu tidak hanya melihat orang-orang yang sudah berkecimpung dalam perkembangan hidup saya tapi juga menentukan sikap yang terbaik bagi relasi (Jasmani dan batin) dengan mereka. Bersama dengan keluarga, kerabat, teman lama, dan pembimbing. Saya diarahkan untuk lebih menilai positif orang lain di mata saya sebagai sesama ciptaan yang dikasihi Allah. Sekalipun orang itu jahat pada saya dan merugikan saya. Misalnya peran keluarga yang begitu hebat dalam hidup saya. Saya menyadari bahwa dahulu saya dididik dengan cara yang luar biasa. Dengan keras dan etos kerja serta ketekunan yang tinggi. Pandangan saya mengenai keluarga yang dulu agak negatif, kini berubah walau belum sempurna betul. Perlahan saya belajar dari mereka; pribadi Bapak saya yang tegas, lugas, dan bertanggung jawab serta tidak inggah-inggih. Meskipun sikap itu tidak tertanam seluruhnya dalam diri saya tapi saya senantiasa bersyukur bahwa saya pernah diajari Bapak untuk bertindak secara demikian. Atas segala perlakuan mereka yang menyakiti hati, membuat saya belajar memaafkan mereka dan semua orang dengan sepenuh hati dan tidak lagi menjadikanya sebagai luka batin. Saya diteguhkan bahwa dalam panggilan, keluarga menjadi sesuatu yang pokok, sebab dulu saya berasal dari sana. Oleh sebab itu sikap dan sifat yang diendapkan dalam diri saya, diharapkan menjadi sari.
Kesempatan bertemu dengan orang lain saya pergunakan dengan semaksimal mungkin dalam rangka melatih diri dalam hal afeksi, dan seksualitas. Pada saat-saat demikian saya melihat dua dunia yang berbeda. Dunia selibat dan dunia married. Pada saat bersamaan saya berelasi dengan sesama saya, baik yang Male maupun Female. Membangun relasi yang baik dan sehat dalam Kasih Allah. Saya juga masuk dalam dunia mereka, berinteraksi dengan mereka, sharing dan menggali pengalaman dari mereka, namun tetap pada posisi sebagai calon Biarawan.
Doa bersama, relasi personal dengan Allah, membawa diri saya pada persatuan dengan Sang Maha Suara. Dalam masa Postulan ini saya mencoba untuk menyelaraskan ‘pikiran’ saya dengan Sang Pemanggil sendiri. Mencari tahu kehendakNya dalam diri saya melalui hidup doa. Dengan demikian saya diteguhkan dalam discernment untuk setia dan mengikuti Dia pada jalan yang sudah dipilihkan bagi saya. Saya melihat perkembangan dalam hidup doa saya, doa-doa pribadi, saya atur sedemikian rupa sehingga relasi personal saya dengan sang pemanggil tetap terjaga disamping doa bersama\komunitas. Berpegang pada prinsip “Jika saya bekerja, maka saya yang bekerja, jika saya berdoa maka Tuhan yang bekerja” memantapkan relasi saya dengan Tuhan dan tetap berpegang erat padaNya. Dalam hal kerohanian saya juga menggunakan buku-buku rohani guna membantu pengolahan hidup menjadi seorang religius yang matang. Pembinaan rohani dalam hidup panggilan saya memunculkan kesegaran tersendiri dan mempengaruhi segala aspek hidup; relasi, kepribadian, maupun studi.
Seorang religius yang juga dituntut untuk mempunyai intelektualitas demi perkembangan zaman, membuat saya harus berjuang keras menyelaraskan diri dengan tuntutan kongregasi. Saat ini banyak waktu yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan diri dalam aspek intelektualitas, melalui media yang sudah disediakan kongregasi, laboratorium, perpustakaan, dan konfrensi formal. Selain belajar dalam kerangka panggilan, saya juga berusaha untuk beradaptasi dengan dunia ‘mendunia dalam biara’ dalam arti tidak ketinggalan zaman namun senantiasa mengikuti setiap peristiwa yang disajikan dalam buku, majalah dan Koran harian. Sebagai kongregasi yang berjiwa misi, saya juga merasa diarakan ke sana dengan mendalami bahasa asing. Kadang memang saya tergoda melalaikan waktu studi dengan hal-hal yang tidak berguna, tapi dengan cepat saya berusaha sungguh untuk belajar.
Setidaknya dua mata pelajaran yang diberikan kepada para pemohon adalah ke-SCJ an dan Pater Dehon. Dari dua mata pelajaran tersebut saya dapat menimba banyak pengalaman pater Pendiri dalam keseluruhan hidupnya. Kesederhanaannya sebagai seorang bangsawan, ketegaran hatinya dan penyerahan kehendak pada penyelenggaraan Ilahi yang begitu mendalam. Pengenalan megenai spiritualitas yang dihidupi para Dehonian dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari semakin memantapkan saya bahwa saya memang tidak salah pilih memutuskan untuk menjadi seorang SCJ.
Tinggal di sini dengan orang yang berbeda sifat dan kelakuan kadangkala membuat saya crash dengan teman seangkatan maupun kakak tingkat. Tapi sekarang saya tahu bahwa hal itu akan terus terjadi dan tak akan dapat saya hindari “jangan pernah berharap dapat selalu baik dengan orang lain” tutur Rm. Priyo SCJ. Namun yang paling penting adalah sikap selanjutnya, dan saya selalu mencoba untuk netral\seperti biasa bahkan lebih mencintai dari sebelumnya.
Saya menyadari bahwa saya tidak bisa lepas dari hidup orang lain. Memelihara solodaritas dengan sesama anggota komunitas nampanya menjadi satu-satunya cara untuk hidup bersama. Mengenal pribadi satu dengan yang lain melalui dinamika kelompok, saya dibantu untuk mengenali seorang dengan yang lain, bagaimana background hidupnya dan seperti apa dia di mata saya. Sebagai cara untuk mengembangkan hidup berkomunitas, saya alami dalam kerja bersama, berbagi pengalaman (sharing), rekreasi dan olah raga. Saya senang tinggal bersama dalam komunitas ini dan asya juga merasakan kasih sayang satu dengan yang lain dalam wujud yang berbeda-beda. Ada yang suka terus terang dan kadang membuat sakit di hati, dan ada kasih sayang yang disampaikan dengan cara diam saja sehingga membuat saya bingung. Namun saya percaya bahwa setiap orang yang tinggal di sini mendukung panggilan saya.
Masa Postulan tidak hanya diisi dengan tinggal diam di rumah, namun demi perkembangan formandi, diberikan kesempatan untuk live-in, aksi panggilan, kunjungan keluarga, pertemuan-pertemuan, dan mengajar anak-anak Bina Iman. Kesempatan itu saya pergunakan untuk lebih mengenal kongregasi SCJ dan seperti apa karya-karya yang dilayani kongregasi ini. Sedikit banyak saya belajar untuk masuk dan ‘melihat’ supaya saya mengerti. Selain karya yang diperkenalkan, saya juga melihat dan mencicipi tantangan yang harus dihadapi kongregasi dalam karya walaupun masih dalam taraf perkenalan.
Dengan bulat hati dan tanpa ragu saya memutuskan untuk menjadi seorang biarawan imam SCJ. Selama ini saya melihat Allah yang selalu berkarya dalam diri saya baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan baik maupun buruk dan Allah membisikkan suara panggilan itu, saya memberi jawab atas pangilanNya. Saya tidak mau pura-pura tuli atas panggilanNya.
Dunia luar memang penuh dengan kesenangan-kesenangan dan kata orang ‘asyik’. Lalu dengan panggilan? Bagaimana dengan selibat? Nggak nikah? Jomblo seumur hidup? Berat? Nampaknya panggilan menjadi orang khusus itu sarat dengan kesulitan, tantangannya banyak. Tapi walaupun melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut saya tetap akan bertahan pada apa yang sudah diberikan Allah pada saya kecuali bila Ia mengubah semuanya. Saya sadar pada apa yang sedang saya pilih dan saya jalani saat ini. Semuanya tidak lepas dari karya tanganNya. Saya hanya yakin dan meletakkan semuanya itu dalam tanganNya.
Saat ini saya arahkan hati kepada Sang Pemanggil, agar dengan Dia dan dalam Dia saya berjalan tanpa ragu menapaki jalanNya. Jalan menuju persatuan dengan Hati Kudus penyelamat semua manusia. Masih banyak hal yang harus saya buat dalam pengabdian kepadaNya. Saya yakin saat ini Allah sedang melakukan rencana besar terhadap diri saya.
Written By: Hendrik Ardianto
0 Comment:
Post a Comment