“Saya dari Belitang kok...”Kebanyakan orang yang mendengar kata belitang tergelitik sekaligus merinding, takut dan cuek. Entah kenapa kecamatan tempat tinggalku itu seperti menjadi sebuah stempel terburuk yang aku miliki. Sejak aku berada di Seminari, juga di Novisiat, aku merasa daerah kelahiranku itu menghantui banyak orang. Aku menjadi malu dan sedikit tidak bangga dengan daerahku sendiri. “Ah, Belitang lagi, belitang lagi!”.
“Oh, mas ini dari Belitang ya? Saya dengar-dengar di Belitang itu banyak Grandongnya ya?” tutur seseorang kepada saya. “Oh kalo saya pernah ke Belitang, disana itu jalannya jelek sekali ya?” Seseorang mencibir. “Kalau Belitang itu kan daerahnya Romo Anu dan anu dan inu yang keluar itu to?” Seseorang meyakinkan.
Sejak di Seminari aku mencoba untuk menghilangkan jejakku sebagai warga belitang. Dengan alasan menghibdari cibiran dan ejekan-ejekan teman-temanku serta anggapan miring dari masyarakat yang tahu sedikit tentang Belitang, aku menjauhkan diri dari pertanyaan dari mana asalku. Entah mengapa aku menjadi jengkel dengan daerah asal tempat kelahiranku itu. Terusterang saja aku merasa risih dengan ujaran-ujaran miring seperti itu.
Pernah suatu ketika aku bersama dengan salahseorang temanku berkunjung ke rumah seorang umat. Spontan dia menanyaiku dari mana asalku sembari menyalamiku. “Oh saya dari Kemuning pak” jawabku. “Oh, Frater dari kemuning, Kemunging itu mana sih Frater?” pertanyaannya berkelanjutan. “Kemuning itu Belitang pak” lanjutku. “Ooo, Frater dari Belitang ya? Saya dulu pernah di Belitang selama satu bulan lho...” katanya dengan PeDe. “Oh ya?” aku menaruh perhatian. “selama saya disana saya dua kali mendengar ada kabar perampokan. Dulu saya kira di sana itu seperti di daerah saya ini lho! Aman-aman saja. Tapi kok lain ya Ter? Saya juga mengira kalau belitang itu kota gitu... Tapi jalan rayanya saja jelek minta ampun...” Kesan Bapak ini tidak asing lagi bagiku, tap tetap saja membuat aku tidak enak dengan diriku sendiri. Aku sih tidak melarang orang mengungkapkan kesannya kepadaku. Itu terserah mereka, soalnya aku juga mengalami yang demikian itu, bahkan lebih. “Masa’ sih pak?” tanyaku pura-pura meyakinkan diri. “Iya Ter!!!”
Pada suatu kesempatan kunjungan saya berkunjung ke rumah umat yang juga punya relasi dengan orang belitang dan sering ke sana. Dalam pembicaraan, kami hanya berkutat pada daerahku belitang, dan pada akhirnya aku dapat menangkap maksud dari pembicaraan kami yang pada intinya mau mengungkapkan “Apa Frater mampu menjalani hidup panggilan Frater sampai tua dan mati?” Coz dari belitang kan banyak seminaris, frater, suster dan bahkan Romo yang keluar meninggalkan jalan panggilannya karena kagak kuat.” “Apa aku kuat? Akan saya buktikan!” dulu saat saya masih Seminaris saya pernah kepikiran dan mencita-citakan bahwa saya akan menjadi orang pertama dari belitang yang pergi ke Roma dan sekolah di sana. Tapi cita-cita saya itu nampaknya sudah didahului oleh romo Santo SCJ. Tapi tak apa, saya tetap terpacu untuk menjalani hidup saya untuk mengabdikan diri sebagai orang terpanggil yang setia seumur hidup!!!”
Selama saya masih seminaris saya sudah mengalami beberapa kali perpisahan dengan teman-teman saya yang seangkatan maupun kkak atau adik kelas yang juga dari Belitang. Walaupun selama saya di semnari saya mendapati kelompok seminaris yang dari Belitang yang aling kompak, namun saya itu juga tidak menjamin kesetiaan untuk menjalani hidup panggilan. Ada yang keluar karena alasan bosan, kasus, afeksi dengan lawan jenis atau juga ke Seminari hanya sekedar numpang studi di SMA Xaverius 1 Palembang. Beberapa teman saya dari Belitang yang keluar memang beberapa sudah agak sukses tapi juga ada yang masih nganggur.
Kebanyakan, yang meninggalkan jalan panggilannya karena afeksi dengan lawan jenis, dan inilah yang masih aku olah sampai saat ini. Saya jug menyadari bahwa saya mengalami hal yang sama. Tapi berulangkali saya membicarakan masalah saya ini kepada pembimbing rohani saya dan mencoba untuk mengatasi masalah saya.
Belitang, sekarang menjadi daerah yang semakin maju. Perkebunan karet sekarang semakin merajai daerah persawahan itu. Mungkin itu salah satu jalan terbaik agar harga beras semakin melambung. Namun ya daerah pelosok yang hanya mengandalkan kebun karet terpaksa harus membeli beras. Tak jauh beda dengan Gisting. Hanya segelintir orang yang menanam padi. Dulu, kabupaten ogan Komering Ulu menjadi kabupaten swasembada pangan. Juga menjadi penyuplai beras paling unggul se sematera selatan.
Saya cukup heran, karena jalan raya yang menuju daerah perkebunan menjadi sangat bagus dan mulus dibandingkan dengan jalan raya yang menuju daerah pertanian. Nampaknya perkebunan menjadi semakin berhasil. Aku pernah punya teman sewaktu SMP, yang rela putus sekolah, bukan karena dia keluarga yang tak mampu, justru sebaliknya dia menjadi siswa yang menurutku masuk tiga besar keluarga terkaya se se SMP ku pada waktu itu. Dia keluar karena ingin mengembangkan usaha ayahnya. Mobilnya sudah banyak, Hp-nya selalu ganti dan ke sekolah dialah yang membawa motor paling bagus. Ah, sayang sekali sebenarnya. Tapi, dia punya persepsi bahwa hidup tak hanya bergantung pada gelar sarjana atau doktor. “Percuma saja punya gelar doktor kalau nganggur” katanya saat perpisahan denganku. Aku juga tidak terlalu kasihan dnegannya, karena kapanpun dia dapat melanjutkan sekolahnya tanpa pusing berfikir biaya.
Di Bellitang, jarang sekali saya mendengar ada keluarga yang susah mencari uang harus kemana untuk membiayai anaknya. Yang aku tahu adalah bahwa ada banyak keluarga mampu, namun sengaja melarang anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi karena malas biaya. Jadi bukan karena tidak punya biaya, namun karena mereka pelit untuk pendidikan anak sendiri. Kesadaran pendidikan memang masih sangat minim, untuk daerah Belitang. Di Belitang, kebutuhan keluarga belum terlalu kompleks. Rata-rata, setiap keluarga mempunyai halaman rumah yang luas, tidak berhimpitan satu dengan yang lain. Juga belum pernah kudenganr ada keributan mengenai batas tanah satu keluarga dengan yang lain.
Sebagian besar masyarakat di desaku mempunyai lahan untuk pertanian dan mereka menggarap lahan mereka sendiri, maksud saya per keluarga. Daerah pertanian kami didukung oleh kehadiran BK (Bendungan komering- Bendungan Kannal). Sehingga daerah persawahan yang dilalui bendungan besar itu rata-rata memanen padi dua kali dalam satu tahun, bisa juga tiga namun jarang. Selain menggarap lahan sendiri, bagi mereka yang merasa mempunyai kebutuhan lebih atau menganggur sampai waktu memanen padi di sawah miliknya tiba, biasanya mereka membantu orang lain memanen. Kegiatan ini basanya disebut derep. Walaupun harga beraspada saat panen tiba mulai turun, para petani tak bisa berharap banyak.
Pemandangan hamparan padi yang mulai menguning, diiringi nyanyian burung –burung bisa dinikmati dengan amat dalam. Mengayun angin sepoi menerpa ujung batang padi. Ah, pemandangan itu bisa dinikmati sampai kini. Sesuatu yang tak bisa aku lupakan. Ketika padi sudah mulai menguning, petani yang cerdas akan memanen dua panenan. Panen ikan dan padi, ya! Biasanya para petani akan memanen dua kali dalam satu lahan. Oh, betapa indahnya!!!
Menikmati sarapan dan makan siang di tengah sawah bersama para pekerja sungguh mengasyikkan. Nasi tiwul dengan lauk ikan asin pedas, sayur kacang dengan segumpal sambal di atas piring seng terasa nikmat. Melebihi apapun. Mengalahkan daging ayam di restoran atau warung makan padang.
On the next...
0 Comment:
Post a Comment