DEHONIAN

SACRED, INTELLIGENCE AND APOSTOLATE

Perjuangan Kasih sayang

CH. Heinrich

Timotius Yacob, mencoba memaknai setiap peristiwa dalam hidup berkeluarga.

Sudah sejak berumur satu tahun dia sudah ditinggal oleh bapaknya. Hidupnya bergulat bersama dengan seorang janda. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang kian kemari mencari rezeki demi terpenuhinya kebutuhan keluarga. Masa kecilnya tidak ada yang istimewa. Hanya saja pada waktu itu jejak kaki pendudukan jepang masih terasa. Dia memang tidak merasakan secara langsung, namun kakaknya merasakan benar jeritan badan-badan para pekerja rodi. Pendudukan jepang pada waktu itu memang sangat memilukan, sampai-sampai Ayahnya pun tidak ia ketahui dimana keberadaanya setelah kelahirannya. Sang Ibu pun tidak mau menceritakan siapa dan dimana sang ayah. Hanya semangat dan kerja keras untuk bertahan dalam situasi sulit yang diturunkan kepadanya.

Kondisi ekonomi di pulau jawa yang semakin sulit dan sarat dengan penderitaan tanpa ujung, membuat keluarga sederhana ini menyeberang ke Sumatera. Gistinglah tujuan pertama keluarga ini. Meski sebelumnya tidak mempunyai pandangan apa-apa tentang daerah baru ini. Semuanya diserahkan pada penyelenggaraan Ilahi. Tahun 1958 menjadi awal bagi Yacob menjadi seorang seminaris. “Saya adalah seminaris angkatan pertama yang berasal dari Gisting. Teman se-angkatan saya sewaktu di Seminari St. Paulus Palembang adalah Rm Cipta Harsaya, SCJ alm. Rm Hadi, SCJ dan Mgr. Aloysius Sudarso. Saat itu yang menjabat rektor adalah Rm G. Elink, SCJ.” katanya ramah. Namun sayang panggilannya hanya sampai pada tingkat qwinta. Dia meninggalkan panggilannya karena satu hal dalam benaknya, membantu sang Ibu mengurusi keluarga.

Setelah keluar dari seminari, dia mencoba untuk berdagang, demi memperbaiki ekonomi keluarga. Untuk mendukung usahanya itu dia menyewa sebuah rumah sederhana di depan rumahnya yang sekarang. Bermula dari penyewaan rumah itu ia bertemu dengan Redempta Suwartinah yang bakal menjadi pendampingnya. Gadis belia berperangai ceriwis itu, teman seangkatan Rm Puryanto, SCJ waktu SMP. Sambil berdagang, dia mencoba untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat SPGC (setara dengan SMP), KPG (setingkat SMA). Ia juga terlibat dalam pendirian yayasan St. Pius, Gisting dan menjadi salah satu staf pengajarnya. “Salah satu tujuan dari pendirian yayasan St. Pius adalah membantu anak-anak yang kurang mampu, khususnya pendidikan anak-anak katolik,” paparnya.

Setelah sekian lama menjalani hidup sendirian, ia pun mulai menjalin asmara dengan Wartinah tetangga dekatnya. Memang tresno iku jalaran soko kulino, ia menikah dengan Redempta Suwartinah. Selisih umur Yacob dan Wartinah sekitar lima tahun, pernikahan itu berlangsung atas dorongan dan desakan dari kedua orangtua mereka. Namun keduanya saling pengertian dan mencintai. “Walaupun kami dulu menikah setengah dipaksa oleh kedua orangtua kami tapi kami saling menerima satu dengan yang lain. Kalau ada percekcokan, itu kami anggap sebagai bumbu dalam hidup berkeluarga” tandasnya.

Mereka dikaruniai lima anak, tiga putra dan dua puteri. Bahtera keluarga mereka berlayar mengarungi samudera kehidupan layaknya keluarga biasa. Kebahagiaan mereka bertambah ketika Damianus Fetriastowo, anak mereka yang ke tiga lahir dengan selamat. Namun mengejutkan bahwa Towo tidak seperti kebanyakan anak seumuran dia. Towo sulit berbicara, kurang tanggap dan mudah tersinggung. Mereka baru tahu kalau Fetriastowo menderita tunarungu. Usaha pertama yang mereka lakukan adalah mencari cara supaya anak kesayangan mereka itu bisa berbicara dan menaggap dengan baik layaknya anak-anak lain. Jalan yang mereka ambil adalah menyekolahkan Towo ke SLB Don Bosco di Wonosobo. Jalan menuju ke sana pun tidak mudah. Setiap anak yang masuk harus menjalani tes sharingan terlebih dahulu. Jika kemampuan otak anak tidak mencukupi maka orangtua harus mencari tempat pendidikan yang lain. “Waktu itu kami berdoa novena, supaya anak kami ini bisa masuk ke sekolah itu,” kata pengusaha abon bermerek ADECO ini. Akhirnya doa mereka terkabulkan, mas Towo diterima di SLB Don Bosco. Doa mereka ternyata membawa berkah dan rahmat yang berlimpah. “Dulu Towo itu sebelum masuk ke SLB belum bisa apa-apa, namun setelah dia tamat dari sana, dia bisa berbicara dengan sangat fasih seperti layaknya manusia normal. Sungguh suatu rahmat yang sangat besar!” sang Ibu menimpali. Demikian pula dengan Maria Rahmawati anak ke empat mereka yang juga mengalami hal yang sama dengan sang kakak. Namun berkat usaha dan doa dari keluarga, akhirnya mereka juga bisa membawa Rahma ke SLB yang dahulu ditempati kakaknya.
Share on Google Plus

About Heinscj

0 Comment:

Post a Comment