“Kubuka album biru…kata mereka diriku, slalu dimanja, kata mereka diriku slalu ditimang…oo Bunda ada dan tiada kau slalu ada di dalam hatiku…”
Senandung lagu bunda membawa suasana semakin haru diantara riuh reda anak-anak Panti Asuhan Rehabilitasi Anak Cacat Bhakti Luhur Tangerang, yang sedang berkumpul di aula sekolah mereka dalam rangka menyambut para donatur yang datang berkunjung. Kala itu, aku bersama keenam teman seangkatanku sedang live in di panti tersebut. Lagu itu dibawakan oleh seorang anak dengan kepolosan dan keterbatasannya. Namun, di telingaku lagu itu terdengar lebih merdu dinyanyikan oleh bocah daripada dinyayikan oleh penyanyi aslinya. Dalam alunan lirik lagu itu, aku menangkap sejumput makna yang mengungkapkan perasaan jiwa pada sebuah alunan lagu.
Album kehidupan anak-anak ini dimulai ketika mereka membuka mata, terlahir ke dunia. Kala itu, dunia sunyi senyap seolah mengatupkan tangan sembari bersyukur karena kehidupan baru dilahirkan. Alam sekitar mulai menyapa lembut, manusia-manusia baru mulai dikenali, dan segala binatang pun tak henti-hentinya bersuka cita. Kala itu. Waktu demi waktu, saat demi saat, bergulir tiada henti.
Mereka mulai menyadari bahwa ada perbedaan yang tampak seperti sebuah jurang. Mereka menyadari bahwa mereka berbeda dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Rasanya seperti ada yang kurang lengkap. Tangan, kaki, jari, mata, hidung, dan kepala. Mengapa demikian?
Banyak orang mengatakan, yang menciptakan manusIa itu Tuhan. Tuhan pula yang menciptakan alam semesta. Orang pula yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang Tuhan ciptakan itu baik. Namun mengapa Tuhan tidak melakukan hal yang sama kepada mereka? Apa salah mereka, sehingga mereka mereka diperlakukan Tuhan seperti itu. Orang di sekitarnya mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah cobaan belaka. Namun apakah cobaan ini akan selamanya ditanggung. Tak ada yang bisa diubah. Semuanya seperti terpatri kokoh dalam nasib mereka.
Mereka mungkin bertanya, adakah orang yang bisa menjelaskan dengan gamblang, mengapa Tuhan menciptakan mereka hanya dengan satu kaki? Mengapa Tuhan mencipatakan mereka dengan tiadanya kedua orangtua mereka disamping mereka? Mengapa demikian? Mengapa mereka harus cacat, mengapa mereka harus berbeda dari orang lain? Tuhan? Sungguh, apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan? Apakah Tuhan tidak bisa berbuat lebih untuk mereka? Seribu pertanyaan mereka tak kunjung henti memenuhi laju aliran darah mereka. Satu kata Tanya yang tak akan pernah hilang adalah; mengapa?
Perawakannya kecil, berkacamata. Jalannya miring ke kanan. Tampaknya dia paling cantik diantara anak Panti Asuhan Bakti Luhur yang lain. Dialah siswa yang menyanyikan lagu bunda tadi.
“Hai, namamu siapa?” tanyaku menghampirinya sembari mengulurkan tangan.
“Namaku Misel kak” katanya dengan nada lembut.
“Wah, suaramu bagus sekali. Kamu tadi menyanyi dengan sangat bagus.”
“Terimakasih kak.” Sahutnya.
“Wah, pasti orangtuamu juga pandai menyanyi, dan mereka yang mengajarimu menyanyi. Kamu dari mana?” tanyaku
“Aku dari sini.” Jawabnya singkat.
“Asalmu? Maksudku asalmu dari mana?” tanyaku lagi
Ia tersenyum kecil, tatapan matanya padaku seolah sudah berbicara banyak. Jemarinya mulai menggaruk kepalanya, seolah pertanyaanku membingungkan baginya.
“Sejak kecil aku tinggal di sini kak.” Jawabnya sembari tersenyum.
Aku mulai menerka, apakah dia benar-benar tinggal di sini sejak kecil. Rasa penasaranku, seakan mendorong aku untuk bertanya tentang keberadaan orang tuanya. Tapi kuurungkan dahulu pertanyaanku.
“Kata suster, sejak bayi aku dititipkan di sini, sampai sekarang.” Ujarnya sembari melempar senyum kecil.
“oh, maaf, kukira kamu tinggal bersama orangtuamu.”
“Nggak apa-apa kak. Aku senang tinggal di sini, banyak temennya, hehe”
“Mungkin ibuku, nggak pengen punya anak cacat kayak aku.” Ujarnya.
Tiba-tiba pembicaraan kami menjadi serius. Kutarik sebuah kursi dari sudut ruangan, dan mempersilakannya duduk. Seolah tidak ada orang lain di sekitar kami, ia mulai berkisah.
“Walau tak tahu orangtuaku sekarang di mana, aku seneng masih ada temen-temen yang baik, suster-suster yang sayang sama kami. Sebenernya kangen juga sih sama ibuku, pengen liat ibuku kayak apa, pengen juga kayak yang lain, kalo liburan pada pulang ke rumah.” Kisahnya sembari mengusap air matanya yang mulai menggenangi kelopak matanya.
Aku terdiam, mengerutkan keningku. Aku merasa bersalah, aku sama sekali tak bermaksud membuatnya menangis dengan menanyakan orangtuanya.
“Wah, maaf ya aku membuat mu sedih.”
“Nggak apa-apa kok kak. Tuhan itu selalu baik sama kita, walaupun keadaan kita kayak gini. Iya kan? Aku sama temen-temen aku di sini memang beda dari kakak dan orang lain. Tapi kitaa semua sama. Tau nggak kak, kita semua sama?”
“Iya, kita semua sama.” Ujarku sembari berpikir apa yang ia maksudkan dengan ‘sama’.
“Kita semua sama, kak. Cinta Tuhan buat kita semua sama, kak.” Ujarnya lembut sambil tersenyum manis.
Sungguh, tak dapat kubayangkan sebelumnya. Kata-kata itu keluar dari seorang anak yang dianggap terbatas secara mental, juga cacat secara fisik. Aku pernah membayangkan dalamnya pikiran seseorang yang memiliki kekurangan fisik. Kukira hujatan kepada Allah, seribu tanya mengapa Allah menciptakan demikian, ada dalam benak mereka. Anggapanku itu luluh lantak di hadapan seorang teman SLB yang usianya juga mungkin baru 13 an tahun.
Dalam diam aku terhenyak. Seringkali aku melewatkan senandung syukur atas hidup dan anugerah yang telah berlimpah kuterima dari-Nya. Terimakasih sahabatku, engkau menyadarkanku bahwa hidup betapapun sulitnya, keras maupun terjalnya, namun satu yang sama dari kita semua, cinta Tuhan bagi kita adalah sama.
0 Comment:
Post a Comment