“Lambung Penebus yang tertikam dan hati yang
terbuka bagi Pater Dehon merupakan suatu ungkapan yang paling mampu
mengungkapkan dan membangkitkan cintakasih”
(Konstitusi SCJ No. 02)
Ketika kita berbicara tetang kasih, rasanya sangat tidak mungkin jika
kita meninggalkan salah satu unsur terdalam darinya, yaitu Hati. Hati menjadi
pusat hidup manusia, siapapun itu. Disadari atau tidak, setiap hal yang kita
alami dan rasakan dalam hidup kita, tak pernah kita menanggalkan hati kita.
Bahkan setiap pembicaraan manusia pun selalu berkaitkan dengan hati. Pembicaraan
tentang hati pun tak akan ada habisnya diulas sampai tuntas. Selalu saja ada
yang baru, mengesan, menggugah, dan mencerahkan. Kata ‘hati’ pun mengandung banyak
makna; kebaikan, cinta kasih, kepedulian, perhatian, pengurbanan, dan lain
sebagainya. Lalu, hati sipakah yang menjadi model sempurna yang patut kita
teladani dalam hidup kita? Pertanyaan ini sepertinya dapat dengan sangat mudah
kita jawab. Dengan gampang kita akan mengatakan: Hati Allah-Hati Yesus sendiri!
Pertanyaan lebih lanjut atas jawaban ini adalah; sedalam apa Hati Yesus merajai
setiap hati? Hati kita!
Dalam Yesus, Tuhan telah merendahkan diri menjadi manusia dan mengenakan
hati manusia. Dalam keadaannya sebagai manusia itu pula, Ia mencintai manusia
dengan hati itu. Banyak keterbatasan pandangan kita tentang cinta Allah yang
jauh dan transenden. Namun sekarang kita dapat melihat bahwa Tuhan mencintai
kita, kita juga dapat mengalami bahwa cinta Allah itu melalui hati Kristus.
Kedalaman dan keindahan cinta Allah dapat dipahami hanya dalam hati Kristus.[1]
Teladan yang paling sempurna dari kerendahan hati, cinta kasih dan dan
pengurbanan adalah Kritus sendiri. Ia menjadi promotor sekaligus pelaksana
cinta kasih itu dengan Salib. Selain memberikan diriNya sampai wafat di kayu
salib. Ia juga membiarkan lambungNya ditikam; “Ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati,
mereka tidak mematahkan kakiNya, tetapi seorang dari prajurit itu menikam
lambungNya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air”. (Yoh. 19:
33-34). Totalitas dan cinta kasih dariNya sungguh tampak dalam penyerahanNya
sampai mati, bahkan ketika Dia sudah mati pun Ia masih menunjukkan cinta dari
HatiNya. Darah itu memberikan kesaksian betapa besar cinta kasihNya, dan tak
ada cinta kasih sejati tanpa penderitaan. DarahNya adalah tebusan bagi kita.
Semuanya dicurahkan sampai tetes terakhir.[2]
Lambung Yesus yang tertombak menjadi jalan bagi kita untuk sampai kepada
kasih terdalam, yaitu HatiNya sendiri. Dari Hati Yesus yang dibuka pada salib,
lahirlah manusia dengan hati baru yang dijiwai oleh Roh Kudus dan bersatu
dengan saudara-saudaranya dalam komunitas cinta kasih yakni Gereja.[3]
HatiNya yang terbuka itu mengubah setiap hati manusia; “Kamu akan Kuberi hati yang baru, dan Roh yang baru di dalam batinmu,
dan aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan hati yang
taat” (Yehezkiel 36:26). Hati yang terbuka dan memancarkan cinta kasih
Allah itu mengubah hati manusia yang percaya, sekalipun mereka yang telah
menyakiti dan menyalibkan Dia. “Dan
mereka yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini, dan
kesaksiannya benar, dan ia tahu bahwa ia mengatakan kebenaran supaya kamu juga percaya”
(Yoh. 19:35).
Hati Yesus mengatakan “ya” dalam tugas perutusanNya di dunia ini, apapun
resiko yang akan ia tanggung, bahkan resiko terburuk sekalipun dengan mati di
atas kayu salib. Dengan mengatakan ya, ecce
venio,kepada BapaNya, ia menjalani semua tugas perutusanNya sampai akhir.
Salah seorang Pastor pembimbing postulat saya, pernah mamaparkan kepada
saya sembari berdiri tegak dan merentangkan kedua tangannya; “Hati Yesus itu merajai dunia dalam jejak
salib; Ia dalam melampaui dalamnya samudera, luas melewati jagad raya, dan
tinggi mengatasi segala langit”. Kemudian dia melanjutkan; “Itulah tugas kita, menegakkan salib itu
sehingga kerajaan Hati Kudus Yesus menjulang tinggi, dalam, dan juga meluas”.
Bagi saya pada waktu itu, kata-kata macam demikian tampak sangat abstrak dan
absurd, tidak realistis. Namun sekarang saya menyadari bahwa itulah tugas
perutusan kita sebagai SCJ; menegakkan kerajaan Hati Kudus Yesus di tengah
dunia ini. Menegakkan kerajaan Hati Kudus Yesus berarti juga menegakkan
kerajaan kasihNya di dunia ini. Menebarkan kasih kepada segala makhluk, itulah
tugas perutusan sebagai anggota Imam-Imam Hati Kudus sebagaimana telah
diperintahkan Yesus sendiri kepada para muridNya. “Aku memberikan perintah baru kepadamu supaya kamu saling mengasihi sebagaimana
aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Engan
demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau
kamu saling mengasihi” (Yoh 13:34).
Setiap orang Kristen pun tahu bahwa Allah adalah kasih, dan mereka juga
diutus untuk mewartakan kasihNya. Namun sebagai pengikutNya yang secara khusus
mempersembahkan seluruh hidup kita demi tugas perutusan itu, apa kekhasan kita?
Apa prioritas kasih yang kita wartakan? Apakah Hati Yesus yang kita wartakan
hanya menjadi sebuah ideologi saja?
Sebagai pewarta kerajaan kasih HatiNya, pertama dan yang mendahului
seluruh tugas perutusan kita adalah bahwa ‘hati’ kita hendaknya mengalami terlebih
dahulu kasih dari HatiNya. Bagaimana mungkin kita akan mewartakan kabar
sukacita dan kasih, jika hati kita tidak mengalami terlebih dahulu kebaikan
kasih dari HatiNya? Dalam hal ini baiklah kita menengok sejenak spiritualitas
pater pendiri yang diwariskan kepada kita sebagai sebuah warisan yang paling
berharga. Dalam hidupnya, Le Trés Bon
Père Dehon menekankan “cinta murni”(Pur
Amour) sebagai suatu bentuk ‘balasan’ atas cinta Allah yang Maha Agung. Ia
juga tahu bahwa tidaklah mungkin
membalas kemahabesaran cinta Allah itu dengan cinta manusia. Oleh sebab itu
banyak orang beranggapan bahwa wujud dari cinta murni sungguh sulit, dan bahkan
mustahil dilakukan. Namun Bagi Pater Dehon, pelaksanaan cinta murni dapat
dimulai dari hal yang sangat sederhana. Ia memberi contoh doa kembali doa Bapa
Kami; Yesus telah lebih dahulu mengajarkan dan menjalankan cinta murni itu,
Dimuliakanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu.[4]
Doa itu sebenarnya adalah pelakasanaan cinta murni dengan tidak mengutamakan
dan memusatkan inti doa pada diri kita. Dalam cinta murni ini pulalah Ia menekankan
adanya suatu penyerahan diri secara total, pengurbanan dan pemulihan. Pater
Dehon menegaskan; “Dalam kehidupan, cinta dan pengurbanan kita, harus menjadi
sebuah misa yang terus menerus. Melalui Yesus Kristus, kita menuju kepada Bapa.
Dengan pengurbanan diri, kita menuju Yesus Kristus. Dengan mencintai, kita
berhasil mengurbankan diri”.[5]
Cinta kasih mendorong kita untuk mengurbankan diri, dan pengurbanan itu membawa
kita kepada Yesus yang akan menghantar kita kepada Bapa.[6]
Jika Allah dalam Yesus mencintai manusia dengan hati manusia pula,
mengapa kita tidak? Pater Dehon menegaskan kepada para SCJ agar menjadi The Prophet of Love kepada dunia. Maka
kita diutus mewartakan dan menjalankan misiNya untuk menegakkan Kerajaan Hati
Kudus Yesus dalam dunia dan di tengah masyarakat. Sehingga Hati Kudus Yesus
tidak hanya tetap tinggal sebagai sebuah ideologi cinta kasih saja, melainkan
nyata dialami semua orang. Berkat pelaksanaan cinta murni yang kita lakukan
sebagai suatu bentuk kesaksian dan misa yang terus menerus.
Sahabat Hati Yesus,
Fr. Hendrik Ardianto
SCJ
DAFTAR PUSTAKA
Henri Dorresteijn, SCJ,
Leo Dehon Seorang Imam Masa Depan 1,
Propinsialat SCJ Palembang,
2004.
Henri Dorresteijn, SCJ,
Leo Dehon Seorang Imam Masa Depan 2,
Propinsialat SCJ Palembang,
2004.
Jesus Solano, SJ,
Getting to Know The Heart of Jesus, Point
for Thought and Study, C. d. C Press Borgo Angelico, Rome, Italy,1993.
Pater Dehon,
Direktorium Rohani, Penerbit SCJ Indnesia, 2003.
Pater Dehon,
Etudes sur le Sacré Coeur I.
Pater Dehon
Konstitusi SCJ, Propinsialat SCJ Palembang, 1996.
[1] Jesus
Solano, SJ, Getting to Know The Heart of
Jesus, Point for Thought and Study, C. d. C Press Borgo Angelico, Rome, Italy,1993,
hal. 97.
[2] Pater
Dehon, Direktorium Rohani, Penerbit
SCJ Indnesia, 2003, hal. 21.
[3] Pater
Dehon, Etudes sur le Sacré Coeur I,
hal. 114 ( bdk. Konst. SCJ no. 3)
[4] Henri
Dorresteijn, SCJ, Leo Dehon Seorang Imam
Masa Depan 1, Propinsialat SCJ Palembang, 2004, hal. 306
[5] Henri
Dorresteijn, SCJ, De Geest van Pater
Dehon, Provincialat Breda, 1952, hal. 95-98.
[6] Henri
Dorresteijn, SCJ, Leo Dehon Seorang Imam
Masa Depan 2, Propinsialat SCJ Palembang, 2004, hal. 117.
0 Comment:
Post a Comment