MERAJUT
NILAI HIDUP KONTEMPLATIF
DALAM
TUGAS PERUTUSAN
1.
Melirik
Dunia Kita Saat Ini
Apabila akhir-akhir
ini kita menyaksikan di media-media (Televisi, koran, facebook, Instagram,
Twitter dlsb.), dominasi yang sering kita jumpai, dan yang sangat laku adalah
pewartaan akan rasa benci, perselisihan, permusuhan, keirihatian, kecemburuan,
amarah, egoisme dan cinta diri. Tak hanya karena seteguk kisah kopi mematikan
yang beritanya diblow up berbulan
bulan. Bukan pula kisah penculikan yang merebak sampai ke sudut perkampungan,
juga kisah seorang ibu renta yang digugat ratusan juta oleh anaknya sendiri. Belum
lah kita lupa beberapa waktu lalu potong memotong badan manusia (mutilasi)
membudaya, seorang suami yang tega menyembelih isterinya sendiri dengan pisau dapur
(di Muara Beliti) pun kisahnya tercatat dalam sejarah manusia. Malah ditambah
pidato ‘sang mantan’ yang katanya
(juga katanya) Indonesia tidak ada lagi di tahun 2030. Tapi ada juga ilmuan
yang berkicau tentang ultra badai matahari yang akan menghancurkan dataran bumi
tahun 2025 yang akan datang. Jadi hemat saya, kalau sama sama percaya kata
orang, bumi sudah lenyap duluan tahun itu, sebelum tahun dua ribu tiga puluh.
Maka prediksi tiga belas tahun lagi Indonesia sudah tidak ada, itu sah sah saja!
Eh, masih ada lagi; katanya kemarin Bu Sukma sudah minta
maaf karena puisinya yang dianggap melecehkan ‘entitas’ tertentu.
Rasanya telinga
kita juga belum berhenti berdenging ketika mendengar isak tangis keluarga
Angeline yang menemukan puterinya terbujur kaku sembari memeluk boneka
bertimbun kotoran ayam. Dan sekiranya tamparan berkali kali dari seorang ibu
yang ogah ngantre di SPBU dan ternyata cuma beli bensin sepuluh
ribu beberapa hari lalu itu lebih kejam dari pemecatan dokter Terawan yang
sudah mencuci otak ribuan orang.
Bagi kita yang hobi
baca koran. Biasanya kolom olahraga tempat dimana majas hiperbola dan litotes
dijunjung tinggi. Terang saja, gaya bahasa yang digunakan bukan lagi bahasa
yang menjunjung tinggi sportivitas atletik. Paling sering, koran lokal menulis
begini: “Sriwijaya FC libas Arema”
atau “Persija tekuk Persib”
“Barcelona gilas AS Roma.” Kalau
berita sudah ditulis seperti ini, wajar saja fanatisme yang mengarah pada rasa
benci para supporter Sepak Bola bisa memuncak. Siapa yang tidak naik darah
kalau tim kesayangannya digilas, atau ditekuk bahkan dilibas musuh. Tidak
heran, jika perseteruan abadi selalu ada, karena memang diciptakan untuk
menaikkan rating sensaasi.
Diantara ribuan
kisah tragis, menyesakkan itu, terselip juga untaian cerita diantara kita
sendiri. Seolah ada suara kecil yang tak berani berteriak: “dimanakah suara hati
manusia? Adakah dia sedang tertidur bersama belas kasihan?” Ditengah situasi dunia yang haus perselisihan, kita
rindu akan adanya kedamaian. Dan kedamaian dimulai dengan cinta. Kita
membutuhkan cinta untuk membangun dunia kita. Selama paskah ini (sejak pekan
suci) kita mengalami, merenungkan dan merasakan kembali Allah yang telah
menunjukkan cinta Nya kepada kita. Ia menunjukkan bagaimana caranya mencintai. Allah
berkenan menjadi manusia, menderita demi menyelamatkan manusia. Ia menunjukkan
kepada kita apa ukuran mencintai yang sesungguhnya. Bahwa ukuran mencintai
adalah mencintai tanpa ukuran (St. Bernard Clairvaux).
Memang, kita tidak pernah dapat membantu menyelesaikan setiap persoalan
yang terjadi (yang kita lihat, dan dengar). Kita hanya dapat membantu dengan
mengambil waktu sesaat, hening dan mendoakannya. Dengan cara ini, kita pun
berusaha mewujudkan cinta yang tanpa ukuran, cinta yang tanpa tapal batas
kepada sesama kita yang menderita.
2.
Hening ala Paus Fransiskus
Dalam
penerbangan menuju Korea Selatan, 13 Agustus 2014, Paus Fransiskus secara
tiba-tiba mengajak serta memimpin doa hening bagi jurnalis foto yang tewas
di Gaza. Doa hening yang dipimpin Paus Fransiskus untuk para wartawan
yang menjadi korban korban di Beit Lahiya, Gaza itu berlangsung kurang lebih 30
detik. Paus Fransiskus juga kembali berdoa dalam
hening, ketika menjejaki sel penjara St. Maximilian Kolbe yang ditahan dan
tewas di penjara itu, demi menggantikan orang lain yang sedianya hendak
dieksekusi Nazi. “Paus mengheningkan cipta untuk menunjukkan keindahan umat
manusia dan dengan cara ini, diharapkan masyarakat tidak akan menghancurkan
keindahan itu, melainkan membangun dan menjaganya,” dikutip Premier
Christian Radio, Jumat (29/7/2016).
Pada hari Minggu (14/5/2017), Paus Fransiskus
mengundang warga yang memadati Lapangan Santo Petrus, di Vatican, untuk
mengheningkan cipta dalam rangka hari Ibu di Vatikan, sesudah doa Angelus. Tak
hanya itu, juli yang lalu selepas memberikan renungan, Paus
Fransiskus meminta ratusan ribu penziarah yang berada di Lapangan St. Petrus
untuk hening seketika dan berdoa khusus bagi keamanan di Tanah Suci. “Saya
memohon kepada semua anda di sini agar terus berdoa bersungguh-sungguh untuk
keamanan di Tanah Suci lebih-lebih lagi sesudah beberapa peristiwa tragis yang terjadi
baru-baru ini.”
Paus
Fransiskus juga pernah menegur dengan keras agar umat sebaiknya mengambil waktu
hening. “Diam sangat penting. Ingat apa yang saya katakan terakhir kali:...
Sikap hening akan mempersiapkan kita dan menyertai kita,” Dia melanjutkan:
“orang-orang Kristen juga harus membiarkan diri mereka ‘terheran dengan
perjumpaan dengan Tuhan’, bukan justru berdoa seperti burung beo, yang suka
mengulang kata-kata tanpa memikirkannya.” Tuturnya.
Pada saat homili Paskah Pagi di Vatikan,
semua yang hadir dalam perayaan Ekaristi tiba tiba terhenyak, karena homilinya
yang amat singkat dan Paus Fransiskus tiba tiba diam beberapa saat. Ia
mengambil waktu hening sesaat dan berdoa. Paus kita satu ini adalah yang paling
sering mengajak siapapun yang ada bersamanya, entah dalam perjalanan, atau pada
saat berkunjung ke suatu tempat, mengajak hening sejenak dan berdoa untuk hal
hal yang baru (dan mungkin akan) terjadi. Dengan cara inilah Ia menunjukkan cintanya
kepada umat manusia, kepada dunia, seperti yang diteladankan Kristus sendiri.
3.
Komunikasi
yang Transenden Menurut Jacques Maritain;
Jacques Maritain adalah seorang filsuf
Perancis yang senantiasa berusaha
mencari nilai kehidupan, dan berjuang menemukan kebenaran. Dengan latar
belakang keluarga dari kaum intelektual liberal, ia selalu tertaik pada
persoalan eksistensial manusia. Dengan filsafat dan refleksi iman katolik, ia
berusaha menjawab persoalan-persoalan hidup manusia.
Jacques Maritain melihat identitas manusia
sebagai mahluk pribadi[1].
Manusia merupakan integrasi dari berbagai aspek dalam dirinya. Menurut
Maritain, personalitas manusia berasal
dari roh yang dimiliki oleh manusia. Dimensi personal yang bersifat
spiritual itulah yang mampu menyatukan berbagai daya kemanusiaan; pikiran,
badan, perasaan sebagai seorang manusia. Ia
mencoba mendefinisikan personalitas dengan istilah independensi, realitas
spiritual, yang mengangkat seluruh segi dalam diri ke dalam satu pribadi, yang
menjadikan manusia sebagai substansi yang cukup mandiri di tengah alam semesta
dan dengan kemandirian itu manusia dapat berhadapan muka dengan Allah yang
transenden dan penuh[2].
Manusia sebagai pribadi hadir dalam
komunikasi dengan sesamanya. Maritain mengungkapkan: Personalitas
pada hakikatnya membutuhkan dialog antar jiwa agar manusia dapat
sungguh-sungguh berkomunikasi[3]. Manusia
sebagai substansi memang selalu menghadirkan diri secara aktif (aktif tidak
berarti harus langsung). Maritain mengungkapkan: “Berdasarkan
fakta bahwa masing-masing dari kita adalah pribadi dan menunjukkan jati diri
kita kepada diri sendiri, masing-masing perlu berkomunikasi dengan orang lain
dalam pengetahuan dan cinta”[4]. Dengan
mengada, manusia menunjukkan keberadaan dirinya kepada sesama. Ia telah
menciptakan komunikasi dengan substansi lain. Maritain memberi dua bentuk
komunikasi antar manusia, yakni komunikasi dalam ilmu pengetahuan dan komunikasi
dalam cinta.
4.
Nilai
Kontemplasi dalam Karya
Nilai adalah: “Sesuatu yang dipandang penting
dan berharga, sehingga orang rela untuk menderita, mengorbankan yang lain,
membela, dan bahkan rela mati demi nilai tersebut” (Darminta, 1996:7). Menurut
Harjawiyata (1981:13), “Hanya ada satu jalan untuk menjadi seorang
kontemplatif, yaitu dengan tiap hari, atau secara teratur, menyediakan waktu
dan tempat tersendiri untuk doa yang sungguh nyata, pribadi, dan kontemplatif”.
Kita menjadi kontemplatif bila ia sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk hening
setiap saat di sela-sela kesibukan kita. Memang untuk menjadi seorang
kontemplatif yang sungguh-sungguh menghayati hidup diperlukan keterbukaan akan
kehadiran Allah setiap saat dalam doa yang dipanjatkannya dalam hidup. Melalui
keterbukaan hati dalam keheningan, dengan sendirinya Allah mengetahui apa yang
sedang dikerjakannya seperti diungkapkan dalam Wahyu 3:8.
Adanya kemungkinan untuk berdialog dan berdoa
itu sangat dimungkinkan oleh Allah, karena Allah sendiri yang telah mendahului
menyapa manusia untuk kepentingan dan keselamatan manusia (bdk. 1 Yoh 3:2). Karena
semua orang mengetahui bahwa berkat sapaan Allah dan berasal dari inisiatif
atas cinta-Nya kepada manusia, Allah telah berkenan hadir dalam hidup manusia.
Maka, kemampuan untuk hening dan berdoa merupakan anugerah dari Allah terhadap
pendoa.
Seorang pendoa adalah orang yang mencerminkan
kehadiran Allah dan biasanya dicintai oleh banyak orang karena dalam
tindakannya selalu berusaha mewujudkan hasil dari doa ke dalam hidup
sehari-hari. Pintu orang untuk mencapai kontemplasi adalah hati yang murni. Dalam
doa pun, pendoa mohon bantuan rahmat dari Allah, supaya Roh Kudus berkenan
hadir dalam doa yang dihaturkannya. Roh Kuduslah yang memampukan manusia untuk
berdoa dengan didasari sikap kasih dan penyerahan diri kepada Allah. “… kasih
tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan
akan lenyap ….” (1 Kor 13:8-13).
Allah menghendaki supaya manusia hidup kudus,
dan ini dituliskan dalam 1 Tes 4:7 yang menyatakan “Allah memanggil kita bukan
untuk melalukan apa yang cemar, melainkan apa yang Kudus”. Doa mempunyai
peranan penting dalam hidup rohani seorang imam, biarawan maupun seorang awam.
Artinya, dengan berdoa, manusia ikut mengambil bagian dalam karya Allah yaitu
demi keselamatan Kerajaan Allah. “Pada dasarnya, seorang pendoa ialah orang
yang akrab dan penuh rasa hormat terhadap misteri kehidupan” (Darminta,
1999:353). Jadi hidup seutuhnya selalu terbuka terhadap Allah Sang Pencipta dan
Sumber Hidup.
Saat di mana rasa religius dan rasa akan
Allah sungguh-sungguh dialami akan tampak dari sikap hidup pendoa sendiri yang
selalu ingin mencari Allah secara terus-menerus dalam hidupnya. Namun, usaha
yang dilakukan untuk sampai ke tingkat yang telah disebutkan di atas pasti akan
mengalami tantangan yang harus dihadapi. Penyebab yang dapat dijadikan patokan
merusaknya hidup doa antara lain dinyatakan oleh Harun Hadiwijono (1980:59-61)
yaitu: 1) Kebimbangan. Ketidakpercayaan mungkin adalah rintangan doa yang paling
besar. 2) Egoisme akar segala dosa. Kesombongan menjegal doa, sebab doa adalah
merendahkan diri. 3) Buta kasih. Roh yang mengasihi adalah suatu syarat bagi
doa yang percaya. Roh doa pada hakekatnya adalah roh kasih. Permohonan adalah
kasih. Orang yang cepat memanas hanya dapat menaikkan doa-doa yang dingin.
5.
Refleksi
Dalam banyak
kesempatan, Paus fransiskus mengajak siapa saja yang ada bersama dengan dia
untuk mengambil waktu mengheningkan cipta, dan berdoa. Ia membangun sebuah
relasi dengan cinta, karena ia tahu dunia ada dalam masa tribulasi dimana banyak godaan dan tantangan yang harus dihadapi.
Tidak seorangpun dapat menyelesaikan setiap persoalan yang dilihat maupun
didengarnya. Maka hening cipta, menjadi cara kita berpadu badan dan jiwa
(personalitas dalam istilah Maritain) dengan saudara saudara kita yang sedang
menderita.
Dalam hidup
panggilan kita, kesibukan sudah menjadi wilayah kita sehari hari.
Kendati demikian; Keheningan
diri senantiasa menjadi cara kita bersatu dalam doa dengan saudara saudara
kita. Bagaimana saya mewujudkannya? Keteladanan
Paus Fransiskus dalam keheningan dan doa, menjadi teladan bagi kita untuk hadir
dalam cinta bagi saudara saudara kita. Bagaimana selama ini saya berusaha
memberi teladan keheningan dan doa ini kepada umat?
Salam
Unum Cor et Anima Una
Hendrik Ardianto SCJ
[1] Istilah Pribadi merupakan terjemahan dari
kata persona. Di dalam istilah ini terkandung totalitas manusia dengan segala
dimensinya, dinamisitas atau proses menyejarah dan mewaktu di dalam memaknai
nilai-nilai secara intrinsik menyatu dalam dirinya. CB. Mulyatno, Menguak Misteri Manusia, Fakultas
Teologi Universitas Sanata Dharma dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009, 109.
[2] “The
metaphysical tradition of the West defines the person in terms of independence,
as a reality which, subsisting spiritually, constitutes a universe unto itself,
a relatively independent whole within the great whole of the universe, facing
the transcendent whole which is God” J. Maritain, The Person and The Common Good, 30.
[3] “Personality
of its essence, requires a dialogue in which souls really communicates”
J. Maritain, The Person and The Common Good,
32.
[4] “By
the very fact that each of us is a person and expresses himself to himself,
each of us requires commucation with other and the others in the order of
knowledge and love” J. Maritain, The
Person and The Common Good, 31.
0 Comment:
Post a Comment