Sejak hidup membiara berkembang dalam Gereja, kasih persaudaraan selalu diajarkan, direnungkan, dan dipraktikkan. Keutamaan kristiani ini diwariskan pula oleh Benediktus dari Nursia (480-547) kepada para rahib senobit di biara Monte Cassino, Italia yang didirikannya sekitar abad ke-5 Masehi. Dalam peraturannya, Benediktus menyebut biara sebagai Schola Caritatis (“Sekolah Cinta Kasih“). Biara menjadi tempat di mana para rahib membentuk diri untuk saling mendengarkan, mentaati, dan melayani. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa para rahib yang tinggal tetap di biara adalah manusia-manusia unik dengan pluralitas potensi dan harapan.
Pada dasarnya, setiap rahib mempunyai cita-cita hidup yang sama. Secara bebas, mereka ingin mencari Allah dengan mengikuti Kristus melalui pengasingan dari dunia dan penggabungan diri ke dalam komunitas. Namun, perjalanan kembali menuju persatuan dengan Allah ternyata sulit dan keras. Para rahib dihadapkan pada beragam ujian dan cobaan yang mesti dimaknai sebagai proses pemurnian hati. Untuk itu, dalam pingitan biara dan persaudaraan komunitas, tiap-tiap rahib menjalani latihan-latihan (askese) rohani dalam wujud mati raga (puasa dan pantang); doa tak kunjung henti (dalam bacaan rohani, ibadat harian, berjaga atau vigili, meditasi, dan doa-doa pribadi); serta kerja tangan.
Praktik hidup monastik itu dipahami, dihayati, dan diteruskan abad demi abad. Pada abad ke-12, seorang Bapa Cisterciensis bernama Bernardus dari Clairvaux (1090-1153) memberi sentuhan baru pada askese monastik itu. Belajar dari pengalamannya sebagai rahib di biara Citeaux dan abas di Clairvaux, Bernardus menegaskan pentingnya kerendahan hati, cinta kasih dan kontemplasi dalam schola caritatis.
Kerendahan Hati
Di tengah situasi komunitas yang kerapkali diwarnai oleh perselisihan akibat iri hati, kesombongan, dan ketamakan, Bernardus mengajak para rahibnya mengenali diri lebih jujur. Dalam The Degrees of Humility and Pride (Tingkat-tingkat Kerendahan Hati dan Kesombongan), Bernardus menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah langkah pertama yang mesti ditempuh dalam seluruh perziarahan menuju persatuan dengan Allah.
Menurut Bernardus, kerendahan hati adalah “pengenalan benar akan diri sendiri, yang menyebabkan orang menjadi hina di mata sendiri” (Humility I,2) . Selain itu, kerendahan hati juga merupakan anugerah Allah yang menumbuhkan rasa sesal disertai oleh sikap takwa, kerinduan, dan cinta. Oleh karena itu, Bernardus menegaskan bahwa kerendahan hati tidak hanya mengarahkan para rahib pada pengenalan akan diri sendiri, tetapi juga pada pengenalan akan Allah.
Cinta Kasih
Dalam pandangan Bernardus, kerendahan hati juga dilihat sebagai “sumber kasih”. Dengan kerendahan hatinya, setiap rahib menyadari dan memahami bahwa kemalangan dirinya adalah kemalangan seluruh umat manusia. Di satu sisi, kesadaran ini menggerakkan mereka untuk menaruh belas kasihan dan cinta terhadap sesamanya. Di sisi lain,“kemalangan umat manusia” ini juga mendatangkan “belas kasih Allah” di mana Allah mengutus Putera tunggal-Nya ke dunia untuk menyelamatkan manusia.
Dalam The Degrees of Humility and Pride, Bernardus menunjukkan betapa agungnya cinta Kristus yang datang untuk menebus dosa umat manusia. Dengan sukarela, Yesus Kristus telah belajar rendah hati dan menjadi taat. “So might he also learn mercy. Not that he did not know beforehand how to be merciful, but what he had known by nature through all eternitiy, he now learned within time through experience” (Humility III,6).
Teladan kasih dan kerendahan hati Yesus itu mendorong setiap rahib untuk membalas kasih-Nya. Didorong oleh kasih Allah sendiri, setiap rahib dimampukan untuk membaharui gambaran Allah dalam dirinya yang telah dirusak dan digelapkan oleh dosa. Dalam Spiritual Friendship, Aelredus, abas Cisterciensis di biara Rievaulx (1110-1167), menjelaskan bahwa proses pembaharuan diri itu mesti dihayati dalam proses persahabatan rohani: dari persahabatan dengan sesama menuju persahabatan dengan Allah.
Selain itu, Aelredus juga menyebutkan pentingnya Three Sabbaths: tiga model cinta yang bersifat dinamis dan progresif, yaitu: 1) cinta akan diri sendiri, 2) cinta akan sesama, dan 3) cinta akan Allah. Menurut Aelredus, ketiga model cinta yang digerakkan oleh Roh Kudus itu memurnikan kehendak dan memampukan manusia untuk menghayati pertobatan hidupnya.
Kontemplasi
Setelah menghayati kerendahan hati dan mempraktikkan cinta kasih, sampailah para rahib pada tingkat kebenaran yang ketiga yaitu persatuan dengan Allah. Seperti telah disebutkan, pada hakikatnya, perjalanan kembali ke Allah ini digerakkan oleh Allah sendiri. “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8). Ia adalah sumber segala cinta. Allah membuat orang mencintai. Oleh karena itu, Bernardus berpendapat bahwa seluruh karya keselamatan Allah ditujukan untuk mengembalikan Ordinatio Caritatis (“Tata Kasih”). Dengan kata lain, perjalanan kembali ke Allah bisa juga disebut sebagai “proses pemulihan cinta kasih”, di mana manusia dipindahkan dari wilayah “ketidakmiripan” ke “kemiripan” dengan Allah.
Menurut Bernardus, berkat kembalinya “Tata Kasih”, egoisme atau proprium (keinginan untuk menyendiri dan mementingkan diri sendiri), diganti oleh kesatuan dengan Allah, oleh persekutuan kehendak dengan Allah, dan oleh voluntas communis (kehendak bersama). Semula, manusia memang berada dalam afeksi kodrati, dalam “cinta badani”, dan terpusat pada diri sendiri. Namun, dalam keadaan itu, manusia justru merindukan Allah, merasa memerlukan Allah, dan dalam arti tertentu, ia sudah terarah kepada Allah.
Dalam proses pemulihan cinta kasih itu, manusia beralih dari “cinta menurut daging” menuju cinta yang serentak “menurut daging” dan “bersifat sosial” di mana manusia terbuka kepada sesamanya. Setelah cinta kodrati diperluas, manusia terus didorong untuk maju dalam pertobatan sejati. Kemajuan-kemajuan baru dalam pertobatan akan mengantar manusia kepada tingkat cinta yang lebih tinggi, yaitu: cinta akan diri sendiri demi Allah, dan cinta akan Allah demi Diri Allah semata.
Dalam pemahaman Bernardus, proses pertobatan itu merupakan gerakan kontemplatif yang kontinu ke arah deifikasi (pengilahian), ke arah persekutuan dengan Allah. Melalui gerak dinamis itulah, pengalaman mistik seperti ekstase dialami oleh para rahib (meski sangat jarang dan tak terduga) sebagai antisipasi persatuan abadi dengan Allah dan sekaligus juga sebagai panggilan untuk ambil bagian dalam karya pelayanan Gereja universal.
Schola Caritatis Masa Kini
Dari ajaran rohani Bernardus mengenai schola caritatis, dapat disimpulkan bahwa kehidupan komunitas sangatlah penting, baik bagi para rahib maupun bagi Gereja dan umat manusia pada umumnya. Di tengah krisis kemanusiaan dan krisis iman yang semakin memprihatinkan, nilai-nilai kerendahan hati, cinta kasih, dan kontemplasi (persatuan mesra dengan Allah) mesti dipupuk dan dikembangkan dengan tekun. Harapannya, schola caritatis masa kini tidak hanya terwujud dalam biara, tetapi terutama di keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan bahkan di “rumah bumi” yang kita cintai ini.
J.-Y. Lacoste (eds), Encyclopedia of Christian Theology, Routledge, New York 2005, 197.
“On Humility and Pride”, dalam Bernard of Clairvaux Selected Works, Paulist Press, New York 1987.
J. Leclerq, Spiritualitas Cisterciensis, diterjemahkan dari Histoire de la Spiritualité Chréitienne, oleh F. Harjawiyata, Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung 1976, 12.
0 Comment:
Post a Comment