DEHONIAN

SACRED, INTELLIGENCE AND APOSTOLATE

NAZAR YEFTA TOTALITAS PERSEMBAHAN KEPADA ALLAH MAHA SETIA (Hakim-Hakim 11:29-41)



A. Teks kitab Suci 

Lalu Roh TUHAN menghinggapi Yefta; ia berjalan melalui daerah Gilead dan daerah Manasye, kemudian melalui Mizpa di Gilead, dan dari Mizpa di Gilead ia berjalan terus ke daerah bani Amon. Lalu bernazarlah Yefta kepada TUHAN, katanya: "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." 
Kemudian Yefta berjalan terus untuk berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangannya. Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar di antara mereka, mulai dari Aroër sampai dekat Minit -- dua puluh kota banyaknya -- dan sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan orang Israel. 
Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya, tampaklah anaknya perempuan keluar menyongsong dia dengan memukul rebana serta menari-nari. Dialah anaknya yang tunggal; selain dari dia tidak ada anaknya laki-laki atau perempuan. Demi dilihatnya dia, dikoyakkannyalah bajunya, sambil berkata: "Ah, anakku, engkau membuat hatiku hancur luluh dan engkaulah yang mencelakakan aku; aku telah membuka mulutku bernazar kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur." Tetapi jawabnya kepadanya: "Bapa, jika engkau telah membuka mulutmu bernazar kepada TUHAN, maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu, karena TUHAN telah mengadakan bagimu pembalasan terhadap musuhmu, yakni bani Amon itu." Lagi katanya kepada ayahnya: "Hanya izinkanlah aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan lamanya, supaya aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku bersama-sama dengan teman-temanku." Jawab Yefta: "Pergilah," dan ia membiarkan dia pergi dua bulan lamanya. Maka pergilah gadis itu bersama-sama dengan teman-temannya menangisi kegadisannya di pegunungan. Setelah lewat kedua bulan itu, kembalilah ia kepada ayahnya, dan ayahnya melakukan kepadanya apa yang telah dinazarkannya itu; jadi gadis itu tidak pernah kenal laki-laki. Dan telah menjadi adat di Israel, bahwa dari tahun ke tahun anak-anak perempuan orang Israel selama empat hari setahun meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu. 

B. Pendahuluan

Pada zaman perjanjian lama, sejak kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, keselamatan hanya dapat diperoleh dengan mengandalkan janji-janji akan karya keselamatan yang dilakukan secara ajaib oleh Allah. Tampak bahwa umat Israel berpegang teguh akan kepercayaan akan janji penyelamatan itu seperti dalam kisah keluarnya umat Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Melalui Musa hambaNya, Allah memberikan kesepuluh hukum untuk mengatur hubungan mereka dengan Allan dan juga dengan sesama manusia. Hukum itu diberikan Allah agar bangsa Israel, dengan memegang teguh hukum tersebut, mereka dapat senantiasa membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan Allah. Salah satu komunikasi yang terjalin antara bangsa Israel dengan Allah adalah berkaitan dengan kepercayaan bangsa Israel akan karya keselamatan Allah, yang terungkap dalam sebuah nazar.
Pada zaman para Hakim, setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri ketika tidak ada raja yang memerintah (bdk. Hak. 17:6).  Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat budaya bangsa setempat (Kanaan), akan kepercayaan terhadap dewa-dewa, salah satunya adalah dewa kesuburan. Sebelum bangsa Israel menempati Kanaan, mereka adalah bangsa pengembara yang hidup secara nomaden, dan sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai gembala. Ketika mereka masuk dan menempati Kanaan, mereka menemukan situasi yang berbeda, dan mau tidak mau mereka juga harus mengusahakan ‘tanah’ yang telah mereka rebut itu menjadi milik mereka. Dalam mengusahakan tanah yang sekarang telah mereka miliki, tampaknya mereka belajar dari cara mengusahakan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Kanaan, sebab mereka tidak memusnahkan atau mengusir keluar orang-orang Kanaan. Situasi tersebut dapat dengan mudah digunakan oleh orang-orang Kanaan untuk mempengaruhi moralitas dan kepercayaan bangsa Israel, dengan memperkenalkan pengaruh kuat kesuburan serta keberhasilan bercocok tanam adalah berkat dari dewa kesuburan. Sehingga ketika di Israel tidak ada hakim, mereka dapat dengan mudah tergoda untuk mengikuti apa yang dilakukan orang-orang Kanaan dan juga pandangan mereka sendiri, bukan apa yang baik di hadapan Allah.

C. Struktur

Perikop ini dibagi dalam beberapa bagian, antara lain;
a. 11:29-31: Mengisahkan tentang Roh Tuhan yang turun atas Yefta dan kemudian dia bernazar; apabila dia memenangkan pertempuran melawan orang-orang Amon, maka apa yang keluar dari rumahnya untuk menyambutnya pertama kali, ia akan mengurbankannya sebagai kurban persembahan kepada Allah.
b. 11:32-33 : Dalam bagian ini dikisahkan Yefta yang kemudian berjalan terus untuk berperang melawan bani Amon, dan Tuhan menyerahkan mereka ke dalam tangannya. Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar di antara mereka, mulai dari Aroër sampai dekat Minit -- dua puluh kota banyaknya -- dan sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan orang Israel. Tuhan menyerahkan orang-orang Amon ke tangan Yefta, sebagai kepenuhan nazar yang dilakukannya pada Tuhan.
c. 11:34-40 : Dalam bagian ini Pengarang menampilkan kembali seperti pada setting awal  yang secara khusus pada kisah awal nazar Yefta pada awal ayat 34; “Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya…”  (bdk.“Maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat…” pada ayat 29) Pada bagian ini pengarang menampilkan secara sangat jelas bahwa Yefta bersama dengan pembaca menantikan apa atau siapa yang akan keluar dari pintu rumahnya untuk menyambutnya. Namun yang keluar dari rumahnya dan menyambutnya atas kemenangan itu adalah puterinya sendiri. Ia harus berbuat seperti apa yang telah dinazarkannya. Puteri Yefta sepertinya telah mengetahui apa yang dinazarkannya, dan dia pun bersedia dipersembahkan kepada Tuhan, ayat 36; “Maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu…”. 

D. Yefta dan Bangsa Israel

Pada masa itu hiduplah seorang Gilead, namanya Yefta. Ia hidup kira-kira pada tahun 1100 SM. Nama Yefta (Yiftakh) mungkin dipendekkan dari Yiftakh-’él, artinya “Allah membuka (rahim)” yang disebut sebagai nama diri dalam bahasa Sabea.  Dia adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan sundal; ayah Yefta ialah Gilead. Juga isteri Gilead melahirkan anak-anak lelaki baginya. Setelah besar anak-anak isterinya ini, maka mereka mengusir Yefta, katanya kepadanya: "Engkau tidak mendapat milik pusaka dalam keluarga kami, sebab engkau anak dari perempuan lain." (bdk. Hak. 11:1-2). Sebagai putera seorang pelacur kafir dengan Gilead yang pada waktu itu belum mempunyai anak, Yefta merasa hak warisnya diputuskan secara melawan hukum oleh adik-adiknya, yaitu para putera Gilead yang sah, dan kemudian ia lari ke negeri Tob. Dari sana, ia bersama para pembelot yang dikumpulkannya menyerang tempat-tempat pemukiman para kafilah, dan seperti gerombolan Daud (bdk. I Sam 22:2; 27:8-9; 30), mungkin melindungi desa-desa Israel dari suku-suku perampok, barangkali termasuk orang-orang Amon. 
Pada saat bangsa Israel terdesak, mereka memanggil Yefta untuk memimpin mereka memerangi bani Amon. Saat hendak berperang, Yefta bernazar kepada Tuhan dengan mengatakan; "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." (bdk.Hak. 11: 30-31)

E. Nazar dalam Perjanjian Lama

Istilah nazar dalam pemikiran bangsa Semitik, mungkin berasal dari nama suatu dewa. Jika memang benar demikian, hal tersebut mengilustrasikan nama Allah yang selalu disebut dalam Alkitab, serta memberikan tafsiran baru seperti pada Yeremia 32:35. Dalam kitab Yeremia, indikasi nazar adalah persembahan sebagai penggenapan atas suatu nazar. Nazar dapat berupa kehendak melaksanakan suatu tindakan (bdk. Kej. 28:20) atau menjaukan diri dari tindakan (Mzm. 132:2), untuk memperoleh belaskasihan Allah (Bil. 21:1-3). Suatu Nazar, ikatan kekudusnnya sama dengan sutu sumpah (Ul. 23:21-23). Apa yang sudah menjadi milik Allah, misalnya anak sulung, buah bungaran, persepuluhan (bdk. Im. 27:26) adalah suatu kekejian bagi Allah (Ul. 33:18) dan tidak boleh dinazarkan atau dikuduskan bagi Allah. Namun karena Anak sulung dapat ditebus (bdk. Im. 27; Bil. 3:44) maka wajar apabila Hana memberikan Samuel kepada Yahweh sebagai pemenuhan nazar, namun bukan sebagai kurban bakaran bagi Allah. 

Dalam kitab Bilangan, kita dapat menemukan beberapa penjelasan dan aturan mengenai nazar. Kata nazar ini (n¹dar): to make a vow. Orang atau barang atau binatang yang digunakan untuk memenuhi nazar itu disebut nazir.  Seorang nazir tidak boleh mencukur rambutnya selama waktu penahbisan (bdk. Nazir: “Anggur yang dibersihkan” Im. 25:5, 11). Ciri khas seorang nazir ialah penyerahan diri seutuhnya kepada Yahweh, dimana badan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dikekang, namun dipersembahkan untuk pelayanan kudus. Kebiasaan bernazar bagi orang Israel dimulai sejak Yakub di Bet’El (Ibr.: Rumah Tuhan). Lalu bernazarlah Yakub: “Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Bdk. Kejadian 28:20-22).
Nazar ditujukan sebagai hasrat manusia untuk memberikan yang terbaik kepada Allah sebagai ekspresi dan ungkapan syukur atas kebaikan yang telah diterima dari Allah atau sesuatu yang berharga untuk membuktikan kesetiaan kepada Allah dengan cara berpantang atau menahan hasrat yang berorientasi pada diri sendiri dan menyesuaikannya dengan kehendak Allah.  

Nazar bukanlah janji biasa, sebab nazar dicapkan di hadapan Tuhan. Seseorang yang mengucapkan nazar tidak pernah dipaksa oleh rang lain untuk mengucapkannnya karena suatu hal. Nazar diucapkan oleh seseorang atas kemauannya sendiri, dan nazar itu mengikat dirinya sebab ia tak dapat menarik kembali nazar yang telah ia ucapkan di hadapan Allah. Apapun resiko yang harus diambil, nazar haruslah diepati. Setiap orang haruslah membayar nazarnya kepada Tuhan. Namun apabila ia tidak sanggup membayarnya karena terlalu miskin, maka ia harus dihadapkan kepada Imam untuk dinilai, sesuai dengan kemampuan orang yang melakukan nazar tersebut (bdk. Imamat 27:8).

F. Nazar Yefta dan Kematian Puterinya

Berkat Roh Tuhan, yang hinggap pada yefta, ia berhasil mengalahkan dua puluh kota, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan bangsa Israel (bdk. 11:33). Sunguh pencapaian yang sangat luar biasa, dua puluh kota dapat ditundukkannya. Namun kisah Yefta bukanlah sekedar kisah bangsa Israel yang dipimpin Yefta untuk maju berperang.  Sebab kisah penaklukkan orang-orang Amori, pengarang tidak mencatat secara terperinci kisah penaklukkan yang dipimpin oleh Yefta. Sudut pandang yang tampak menonjol adalah penyertaan Allah dalam rohNya yang turun atas Yefta dan sebelum berperang, Yefta sempat mengucapkan nazar kepada Tuhan. 

Pada zaman ini, pengurbanan manusia di Timur Tengah, bukanlah peristiwa yang sering terjadi, sejak tahun 2500 BC.  Namun Yefta telah mengetahui bahwa bangsa Israel kalah dalam peperangan melawan bani Amon. Ia juga tahu bahwa peperangan yang menyebabkan kekalahan bangsa Israel tentunya akan melenyapkan garis keturunan bangsa Israel di muka bumi ini. Sehingga dia disiapkan untuk ‘membeli’ kemenangan dengan harga yang sangat tinggi yang harus dia bayar. Secara diam-diam, (pada ayat 35) dia harus mewujudkan kemungkinan terbesar,  yakni puterinya sendiri yang akan menyambutnya pada saat dia pulang dari peperangan. 

Apabila kita membandingkan perikop ini dengan perikop lain, misalnya pada Imamat 18, 20, dan juga dalam Raja-raja 11:7 kita dapat menyimak dengan jelas bahwa Tuhan tidak berkenan akan ‘korban manusia’ untuk dipersembahkan kepadaNya. menegaskan konsekuensi bagi orang Israel yang mempersembahkan anaknya kepada molokh (Imamat 18:21; 20:2-5; 1 Raja-raja 11:7) atau bahkan sebagai korban bakaran kepada Tuhan. Apabila ada yang melalukan hal demikain maka ia menghina kekudusan Tuhan atau boleh dikatakan menajiskan kekudusan Tuhan. Namun apakah sebenarnya maksud Yefta, dengan pengurbanan manusia itu, apalagi yang dikurbankan adalah puterinya sendiri?  
Bila sejenak dilihat dari satu sudut, memang bagi Yefta, membuat nazar dengan mengurbankan binatang, bukanlah sesuatu yang spesial.  Kebiasaan itu juga sering dilakukan bangsa Israel. Pada saat itu dia berhadapan dengan situasi krisis besar yang melanda bangsa Israel. Krisis yang sampai mengakibatkan Allah tidak mau lagi menolong bangsa Israel (bdk. Hak. 10:13). Oleh sebab itu ia merasa perlu bernazar dengan intensi pengurbankan manusia, sekalipun itu keluarganya sendiri. Memang jarang terdengar bahwa pengurbanan manusia dapat dilakukan untuk mengatasi krisis yang terjadi dalam bangsa Israel (bdk. 2 Raj. 3:26-27). Tak pernah terdengar bahwa Tuhan datang dan ‘memakan’ kurban persembahan manusia.  

Namun dalam hal ini, untuk memenuhi nazarnya, ia pun mengikuti permintaan anaknya, seperti yang juga dikatakan bahwa anak perempuan Yefta menghargai apa yang telah dinazarkan ayahnya dan menyarankan ayahnya untuk melakukannya.  Apabila kita membandingkan pengurbanan yang dilakukan Yefta dengan pengurbanan yang dilakukan Abraham, terdapat perbedaan yang sangat jauh. Abraham mengurbankan anaknya sebab Allah hendak mencobai imannya (bdk. Kej. 22:1). Apa yang dilakukan Abraham adalah pertama-tama inisiatif dari Allah sendiri. Sedangkan Yefta, ia mempersembahkan puterinya sebagai korban untuk memenuhi nazar yang diucapkannya kepada Tuhan. 

G. Allah Hakim yang Setia

Gambaran Allah sebagai hakim sangat dominan dalam kehidupan dan wacana Israel.  Jelas bahwa metafora hakim menampilkan Yahweh sebagai tokoh yang berkomitmen pada hukum yang adil, sebagai tokoh yang dapat diandalkan untuk campur tangan demi mereka yang diperlakukan tidak adil dan demi kesejahteraan bangsa Israel sendiri. 
Dalam kitab Hakim-hakim, kita dapat melihat dengan jelas ‘lagu lama’ bangsa Israel yang selalu saja diulangi. Pertama, ketika di Israel tidak ada raja yang memerintah, mereka berbuat semau mereka sendiri. Bangsa Israel berbuat apa yang jahat dimata Tuhan (bdk. Hak. 3:7; 3:12; 4:1; 6:1; 10:6; 13:1; 17:6; 18:1; 19:1; 21:5 dst.). Kedua, ketidaksetiaan bangsa Israel kepada Yahweh, menimbulkan amarahNya. Yahweh kemudian menyerahkan bangsa Israel ke tangan musuh-musuhnya (bdk. Hak. 3:8; 4:2; 6:1; 10:7, dst.). Ketiga, kemurkaan Yahweh atas bangsa Israel, menimbulkan penderitaan atas bangsa Israel. Maka bangsa Israel pun berseru kepada Yahweh (bdk. Hak. 3:9; 4:3; 6:7; 10:10, dst.). Keempat, hati Yahweh tergerak oleh belas kasihan kepada bangsa Israel, kendatipun mereka sudah menduakanNya dengan mengabdi pada dewa-dewa. Oleh sebab itu atas kemurahan hatiNya, Yahweh membangkitkan seorang hakim untuk menolong bangsa Israel (bdk. Hak. 3:9; 6:8, dst.). Kelima, Bangsa Israel mendapatkan kembali kedamaiannya selama para hakim memerintah (bdk. Hak. 3:11; 5:31, dst.). 

Dalam kitab Hakim-hakim, kita dapat melihat bahwa para hakim hanyalah alat yang digunakan Tuhan untuk mewujudkan kehendakNya.  Tuhan ditampilkan sebagai penyelamat yang setia, kendati Dia harus berulangkali berurusan dengan ketidaksetiaan Bangsa Israel. Allah selalu mendengarkan keluhan bangsa Israel dan Ia memperhatikan kesengsaraan umatNya dengan membangkitkan para hakim (bdk. Hak. 3:9; 6:8, dst). Hal ini tampak dalam sejarah bangsa Israel pada zaman para hakim. Pengarang menekankan bahwa kekuatan, kekuasaan dan keberhasilan mereka berasal dari Allah. Hal itu harus dipergunakan sesuai dengan maksud Allah. Secara tiba-tiba, mereka dikuasai oleh Roh Allah (Hak. 12;14;15,dst). Mereka menemukan kemampuan dan kekuatan baru dari Allah sendiri. 

H. Iman dalam Totalitas Persembahan

Kemenangan yang diterima Yefta adalah sebuah tanggapan sekaligus hadiah dari Allah atas apa yang sudah dinazarkan Yefta. Janji pengurbanan yang akan dilakukannya ditukar dengan sebuah kemenangan melawan orang-orang Amon (bdk. Ay. 30-31). Dalam teks Ibrani, pengurbanan Yefta tidak mengacu pada seseorang (someone) yang akan menyambut Yefta sekembalinya dia dari peperangan, melainkan sesuatu (something). Dengan gambaran bahwa tipe rumah-rumah di palestina pada masa itu mempunyai halaman untuk persembahan binatang-binatang peliharaan. Di halaman itu ada binatang-bnatang yang digunakan untuk korban bakaran kepada Yahweh. Oleh sebab itu Yefta beranggapan bahwa ada binatang yang akan mendatanginya ketika dia pulang dari peperangan, namun yang menemuinya justru puterinya sendiri. Oleh sebab itu Yefta beranggapan bahwa Tuhan menginginkan puterinya sebagai kurban persembahan. Meskipun kurban manusia bukanlah suatu hal yang biasa dilakukan orang-orang Israel pada masa itu. 
Peristiwa pengurbanan puteri Yefta memang dikisahkan amat singkat dalam perikop ini. Peristiwa ini pun merupakan peristiwa yang sangat tidak biasa, bahkan peristiwa satu-satunya yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Sedangkan narator juga tidak memberikan penilaian moral tertentu tentang apa yang dilakukan Yefta terhadap anak perempuan satu-satunya itu.  Kesimpulan logis sementara adalah bahwa memang Yefta melakukan pengurbanan manusia. Namun dalam Ibrani 11:32, Yefta justru dianggap sebagai pahlawan iman. “…yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat”. Para pahlawan Kitab Suci memang bukanlah orang-orang yang sempurna dalam berbagai hal, melainkan dalam kelemahannya ia pun dapat melakukan perbuatan amoral, seperti Daud (bdk. 2 Sam 11) dan sekalipun itu membunuh puterinya sendiri sama halnya dengan apa yang dilakukan Yefta.  

I. Penutup

Kesetiaan Tuhan selalu tampak dalam pergulatan bangsa Israel, sejak zaman Abraham, Dia selalu setia dalam janji dan juga dalam menyertai manusia kendati bangsa Israel berulangkali tidak setia kepada Yahweh. Pada zaman para hakim, bangsa Israel berulangkali tidak menaruh kesetiaan kepada Allah sehingga mereka dikuasai oleh musuh-musuh mereka dan mengalami kesengsaraan. Namun denegan demikian, Yahweh tidak meninggalkan mereka, Ia tetap setia kepada Bangsa Israel dengan mengutus seorang hakim untuk mewujudkan karya keselamatan Tuhan terhadap bangsa yang berulangkali tidak setia itu.Dalam perjanjian baru, Tuhan mengutus PuteraNya untuk menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan dosa. Allah tetap setia dengan bangsa Israel, kendatipun mereka mecela, bahkan sampai menyalibkan Putera yang DiutusNya. Sampai saat ini Allah tetap setia kepada manusia, kendatipun kita berdosa dan ia akan membebaskan kita dari perbudakan dosa. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. (bdk. I Yoh 1:9)

Allah tetap dengan setia memperhatikan kita hamba-hambaNya. Pemazmur mengungkapkan kesetiaan Tuhan dengan; Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit(bdk. Mz. 89:3).


DAFTAR BACAAN

Brueggemann, Walter,
Theologi Perjanjian Lama; Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Penerbit Ledalero, maumere, 2009

Daily Bible Commentary; Genesis-Job Vol I, Interprint Malta, 1974.

Elwell,Walter A. ed., 
BAKER : Encyclopedia of The Bible, vol. 2 J-Z (Michigan: Baker Pook House, 1988.

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Inter Varsity Press, Licester LEI 7GP, england, 1975.

Harris, G Jordan dkk. 
New International Biblical Commentary, Joshua, Judges, Ruth, Hendrickson Publisher America, 2000.

Hope, Leslie, OFM, 
Joshua, Judges, with an Excursus on Charismatic Leadership in Israel, 
Michael Glazier Inc. Wilmington Delaware, America, 1982.

Horst,Yan v. d., 
Hidup Kita dalam Terang Alkitab, Bagian I Perjanjian Lama, 1988.

Kent G, Dan., 
Layment’s Bible Book Commentary: Joshua, Judges, Ruth, Vol.4 (Nashville:Brosdman Press, 1980)
Lembaga Biblika Indonesia 
Wacana Bilika vol. 08/No 02 April-Juni, Yayasan Lembaga Biblika Indonesia, 2008.

Noel Freedman, David dkk., 
The Anchor Bible Dictionary Volume 3, Doubleday, New York, 1922.

V. Sanjaya, Indra, Pr. 
Diktat Mata Kuliah Kitab-Kitab Sejarah, Fakultas Teologi Wedabhakti, 2012.

Wright, G. Ernest,
The Challenge of Israel’s Faith, Chicago: University of Chicago Press, 1944.





Share on Google Plus

About Heinscj

0 Comment:

Post a Comment