DEHONIAN

SACRED, INTELLIGENCE AND APOSTOLATE

Manusia Berhati Allah (Seutas kisah dari rumah cinta)

      
 Setiap hari aku tinggal bersama dengan teman-temanku sepanti dan juga bersama dengan para perawat yang selalu setia melayani dan membantuku. Melalui merekalah aku dapat berkembang seperti sekarang ini. Aku sangat bersyukur tinggal bersama dengan mereka. Aku belajar banyak hal dari mereka. Tiap aku bangun pagi, kulihat mereka sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk kami. Kemudian setelah kami bangun, mereka memandikan beberapa dari kami yang belum bisa mandi sendiri. Kendati mereka laki-laki semua, namun mereka memiliki naluri keibuan yang sangat tinggi. Padahal, siapalah kami ini? Anak mereka? Bukan! Saudara mereka? Juga bukan! Kami hanyalah orang lain bagi mereka. Namun mereka telah membuat kami bukan lagi orang lain begi mereka. Mereka telah membuat kami menjadi keluarga mereka sendiri. Mereka memperlakukan kami sebagai saudara mereka, bahkan lebih!
       Merekalah manusia berhati Allah! Mereka tak kenal lelah bekerja dari pagi sampai pagi lagi untuk kami. Dari pagi sampai pagi! Di panti saya mempunyai beberapa teman yang memang suka rewel dan biasanya pada malam hari para perawat harus rela beberapa kali terjaga karena anak tersebut selalu menangis dan memukulkan diri ke tembok, atau jika tangannya diborgol, dia akan berteriak sekuatnya tanpa sebab yang tak diketahui. Maka bapak perawat pengasuh akan terbangun dan mencoba membuat anak itu tidak mengamuk atau berteriak lagi. Belum lagi mereka harus bangun pagi dan membuatkan sarapan untuk kami dan  mengasuh kami sampai malam dan pagi lagi, demikian setiap hari. Aku tak tahu kapan mereka merasakan ketenangan dalam hari-hari mereka bersama dengan kami.
       Sesuai dengan pakaian yang para Bapak dan ibu perawat kenakan setiap harinya yaitu putih, melambangkan kesucian jiwa yang tanpa pamrih. Mereka mengenakan dalam diri mereka hati yang suci dan keutamaan pelayanan kasih mereka dipersembahkan hanya untuk anak-anak cacat semata. Mereka bekerja tanpa memperhatikan seberapa besar upah yang mereka terima. Kadang aku menjumpai mereka terenung dalam kesendirian mereka. Entah apa yang sedang mereka pikirkan saat itu. Namun aku melihat suatu rona wajah yang memucat lelah. Sesekali aku menjumpainya dan menanyakan; 
    “Pak, lagi ngapain?” 
dia hanya menjawab “lagi duduk dengerin musik”. 
Aku menghampirinya dan mencoba mendengarkan musik yang dia sedang nikmati. 
    “Lagu apa ini pak?” tanyaku. 
    “O, ini lagu yang biasa saya dengarkan ketika saya kangen sama Bapak dan Ibu saya.” Jawabnya. 
    “Lho, memangnya Bapak sedang kangen ya sama orangtua Bapak?” tanyaku lagi. 
    “Ya, Bapak sedang ingat sama orangtua Bapak di kampung.” 
    “Memangnya bapak sudah berapa lama tidak pulang ke kampung bapak?” tanyaku ingin tahu. 
   “Sudah sembilan tahun. Sudah sembilan tahun bapak tidak pulang kampung dan bertemu dengan kedua orangtua serta sanak saudara bapak. Namun tiap kali bapak kengen sama orangtua bapak, bapak selalu mendengarkan dan menikmati lagu ini.” katanya sembari mengerutkan wajah. 
    “Jadi, sudah Sembilan tahun bapak tidak berjumpa dengan kedua orangtua bapak? Wah, lama sekali ya?” kataku bersimpati. 
    “Tapi sembilan tahun itu serasa berlalu begitu cepat, dan bapak sangat menikmati tinggal dan hidup bersama dengan kalian. Kalian sudah bapak anggap keluarga bapak sendiri.” 
Jelasnya. Kami terdiam bersama, menikmati alunan musik khas yang dinyanyikan dengan bahasa yang tak kuketahui artinya, namun aku juga sangat menikmati lagu itu dalam kebersamaan dengan bapak perawat. Aku tersadar, betapa besar perhatian mereka terhadap kami. Mereka mencurahkan seluruh perhatian mereka untuk kami. Sedangkan untuk mereka sendiri, mereka mengabaikannya. Cinta mereka sungguh besar dan total untuk kami semua. Mereka memperhatikan kami dengan hati dan kasih terbesar yang mereka miliki. 
       Mereka mempunyai hati Kristus dalam diri mereka. Hati yang mencinta untuk semua orang yang lemah, cacat dan tersingkir. Ya, aku mendengarnya dalam injil yang dibacakan di gereja. Yesus selalu peduli dengan orang miskin, buta, cacat dan terlantar. Begitu pula dengan mereka; mereka selalu setia dan dengan tekun mengurusi anak-anak catat fisik dan mental setiap harinya. Dengan kasih sayang, mereka menyuapi, memandikan, dan dengan penuh kelembutan, mereka menemani anak-anak itu tidur. Ketika ada anak yang terjaga dan rewel, mereka pun terjaga sembari bertanya; 
     “Kamu mau apa? Minum? Atau minta ditemani ke kamar mandi?”. 
     Sejak pertama kali aku menyadari bahwa merekalah yang merawat aku, rasanya ingin sekali aku mengenakan baju putih kebanggaan mereka dan menjadi seperti mereka. Sebab jarang sekali kutemui orang-orang yang berhati seperti mereka. Tapi dengan keadaanku yang seperti ini tentu aku takkan bisa menjadi seperti mereka. Aku hanya yakin, bahwa sikap-sikap yang mereka taladankan kepada kami, dapat kami tiru dan kami kembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi manusia, namun manusia yang berhati seperti hati Allah sendiri.

Share on Google Plus

About Heinscj

0 Comment:

Post a Comment